08 | NARAYAN

171 34 13
                                    

Rembulan di langit menyebarkan cahaya lembut yang larut bersama pekatnya malam. Aku menengadahkan wajah, menatap langit bertabur bintang. Entah sejak kapan aku mulai sangat menyukai benda langit berkilau itu, menatapnya selalu membuatku takjub dengan kedua mata yang lupa bagaimana caranya beralih. Konon, bintang dapat menjadi petunjuk arah entah di mana pun kita berada. Selama ada bintang di langit, kita tidak akan pernah tersesat. Tidak akan pernah hilang. Namun, semesta lupa. Ada bintang yang mampu membuatku tersesat seumur hidup, bintang yang bercahaya dalam kedua mata gadis di sampingku kini. Kilau yang ia miliki sanggup membuatku tersesat tak tentu arah di dalam matanya, bahkan membuatku ingin menetap abadi.

"Narayan, kau turun duluan." Kieran mendorong pelan punggungku agar maju satu langkah, membuatku segera tersadar dari lamunan sesaatku tentang Maira. Derap kakiku saat bergerak menimbulkan suara renyah dari dedaunan kering di tanah. Perlahan aku menengok ke dalam sumur dengan raut wajah sangsi, tak ada setitik pun cahaya di dalam sana. Aku tidak tahu sedalam apa kami harus turun untuk mencapai dasar sumur tua ini. Menyeramkan.

"Kenapa bukan lo aja duluan?" tanya Maira dengan sinar mata yang tegas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa bukan lo aja duluan?" tanya Maira dengan sinar mata yang tegas. Jadi seperti ini rasanya punya istri protektif dalam setiap keadaan.

"Gue takut gelap." Kieran menjawab cepat dan pasti. Lelaki itu menengok ke sekitar karena berusaha menghindari tatapan mengintimidasi dari kami yang sedang mengepungnya.

"Kau ini hantu masa lalu!" Suaraku mengandung nada tak percaya dengan kedua mata yang membulat sempurna. Hantu mana yang punya rasa takut saat dirinya sendiri sudah mengerikan.

"Memangnya hantu tidak boleh takut gelap?!" Kieran berseru lebih nyaring lagi. Suaranya terbawa angin malam yang saat itu berembus kencang dari arah berlawanan dengan kami, membuatku langsung memejamkan mata agar tak ada debu yang menggores korneaku.

Angin itu berlalu dengan cepat, kemudian melebur bersama malam. Seolah ia datang menghampiri kami hanya untuk menyampaikan sebuah pesan, sebuah pesan yang tidak kami pahami maksudnya apa. Lagi pula, tidak satu pun dari kami terlalu menanggapi kedatangan angin itu akibat perdebatanku dengan Kieran, terlebih Lovi langsung menginterupsi.

"Biar aku saja yang duluan." Bocah itu tak memberi kami kesempatan untuk merespons barang sedetik saja, tubuh mungilnya kini sudah bergerak mendekati sumur. Dengan hati-hati ia meletakkan satu kakinya pada pijakan tangga besi di bagian dalam dinding sumur yang benar-benar tampak angker, tangan kecilnya berpegangan kuat pada besi berkarat di kedua sisi tangga yang menjadi akses bagi kami untuk masuk ke dalam sumur dengan aman. Tidak! Tidak seratus persen aman, bisa saja ada arwah jahat di bawah sana.

"Dasar payah!" Nenek Mago mencibir ke arah kami sebelum ikut menyusul Lovi. "Ayo, Maira. Tidak perlu takut."

Nenek Mago ikut menuruni tangga, disusul oleh Maira yang sempat tersenyum lucu padaku sebelum berlalu. Aku malu sekali, padahal aku sudah akan turun tadi. Kieran selalu saja merusak suasana, kenapa pula dia ingin ikut segala. Menyusahkan. Menjengkelkan. Lebih baik dia diam saja di dunia ini mengurus bisnisnya. Atau kalau memang dia seluang itu, mending dia membantuku menjalankan toko bunga selagi aku pergi.

Vhallscavepe: Tales of the Dead SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang