BAB 13. Pantang berhenti di jalan

234 1 0
                                    

"Hera, kita masuk aja yuk." Hendra merangkul pundak Hera dan membawa anaknya itu memasuki rumah, khawatir putrinya itu bisa tertular sifat materialis Mama tirinya.

"Hera... Mama harap kamu enggak berubah pikiran buat jauhin si Ivan. Mama akan terus dukung kamu sama Affandi, sampai kalian ke pelaminaaan!" teriak Eti merasa kesal, sebab Hendra terus membawa Hera menjauh darinya.

Embusan napas Hendra terdengar berat saat langkah mereka sudah menjauh dari Eti. Pria paruh baya itu menurunkan tangannya dari pundak Hera, lalu menangkup wajah gadis itu dengan kedua telapak tangannya sembari menatapnya intens.

"Dengar baik-baik, Hera. Papa minta sama kamu jangan sampai kamu kayak Mama sambungmu. Mending pria kaya yang kamu deketin itu baik orangnya dan gak perhitungan kayak Papa, ini Papa bukan mau memuji diri sendiri loh ya." Perkataan Hendra langsung diangguki Hera sebagai tanda mengerti.

"Kalo Papa sih enggak masalah pas Mama kamu minta apa aja ke Papa dulu sebelum kita menikah, karena waktu itu Papa menduda. Dan misalnya Mama kamu waktu dulu mau ninggalin Papa pergi pun, Papa gak masalah dan gak mau mengungkit apapun yang udah Papa berikan. Tapi orang lain?" Hendra menjeda ucapannya.

"Orang lain mungkin gak seperti Papa, Nak. Mereka kalo udah ngasih kita sesuatu yang banyak sampe nguras dompetnya, dia gak akan terima kalau sewaktu-waktu ditinggalkan perempuan yang udah dapat banyak darinya. Kecuali kalau dia udah berhasil mendapatkan hal yang paling penting dari perempuan itu. Misalnya ...." Hendra menarik napas dalam lantas mengembuskannya secara perlahan.

"Keperawanannya," lanjut pria paruh baya itu. Sepasang matanya berkaca-kaca menatap Hera, putri sulung bersama istri tercinta yang sudah pulang terlebih dahulu ke Rahmatullah.

"Papa kenapa nangis?" tanya Hera.

Sebenarnya Adelia yang berada di dalam raga Hera itu tahu dengan perasaan Hendra, tetapi dia lebih baik berpura-pura tidak tahu saja agar dia tetap bisa dekat dengan Affandi dan Keisya untuk membalaskan dendamnya.

"Jauhi pria yang bernama Affandi itu, Nak. Papa enggak mau kalo terjadi sesuatu sama kamu. Dia orang kaya, punya segalanya. Gak mungkin dia akan diam saja kalau kamu tinggalin dia pas lagi sayang-sayangnya," pinta Hendra.

"Maaf, Pak Hendra. Tapi saya tidak bisa berhenti saat sudah memulai rencana," sahut Adelia dalam hati.

"Hera... Kamu mengerti apa yang Papa katakan tadi, hmm?" tanya Hendra.

Hera memalingkan wajah. Ia tak kuat melihat Hendra menangis, tanda ketulusan pria itu terhadap anak gadisnya. Ia mungkin saja akan ikut menangis, lalu berhenti di jalan sebelum berhasil membuat mereka hancur.

"Hera mengerti, Pa. Tapi, Om Affandi itu orangnya baik, Pa. Dia ngasih semua belanjaan sebanyak itu karena dia sangat berterimakasih sama Hera, karena Hera udah baik sama keponakannya. Namanya Keisya," sahut Hera masih tak mau melihat Hendra.

"Itu semua bohong! Kamu jangan percaya omongan dia yang katanya mau terimakasih doang, dia pasti ada maunya, Hera. Kamu harus percaya sama Papa!" titah Hendra begitu tegas, namun air mata tetap saja menetes.

"Mama...." Adelia malah ingin mengalihkan topik pembicaraan dengan Hendra, dengan memanggil Eti untuk segera memasuki rumah.

"Ada apa, Hera Sayang," sahut Eti sembari berjalan cepat. Begitu sampai di hadapan Hera dan Hendra, wanita itu mengulas senyum kaku karena suasana di antara mereka yang terlihat suram.

"Mama bilang tadi pas ada Om Affandi, Mama bikin kue tradisional baru yang sebelumnya gak pernah Mama buat, ya?" tanya Hera.

"Iya, apa kamu coba hasil kue buatan Mama?" tawar Eti.

Gundik Di RumahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang