"Hera, buka!" teriak Eti. Kali ini bukan suara ketukan pada daun pintu, tetapi handle pintu kamar Hera yang bergerak-gerak.
Sebuah ide muncul begitu saja di kepala Hera. Ia mengulurkan tangan memutar kunci lantas membuka pintu, kemudian tersenyum menatap Eti yang berdiri di depan kamarnya.
"Kamu kenapa tadi ketawa-ketawa? Apa kamu senang lihat saya bertengkar sama Papa kamu, hah?!"
"Mama sama Papa bertengkar?" tanya Hera berpura-pura kaget seolah tak mengetahui apapun.
"Kamu benar-benar gak tau Mama dan Papa bicara tadi?" tanya Eti.
Hera menjawab pertanyaan Eti dengan menggelengkan kepalanya.
"Tapi kamar kamu kan gak kedap suara, pasti kamu dengar, kan?"
"Tadi aku lagi nonton drama komedi di handphone sampe ketawa-ketawa, sedangkan kuping aku disumpal headset," jelas Hera.
"Mama pikir kamu ngetawain Mama sama Papa kamu, Ra." Eti menghela napas, lega.
"Tunda dulu nontonnya. Kamu mandi, salat magrib, nanti jam tujuh kita kumpul ke meja makan. Kita makan malam bersama kayak biasa ya."
"Oke, Ma."
Eti mengelus pundak Hera, lalu melenggang pergi dari hadapan gadis yang sebenarnya orang lain itu. Tidak dijelaskan siapa pun, pasti kalian sudah tahu jiwa siapa yang ada di raga gadis itu.
Setelah Eti benar-benar pergi, Hera menghela napas panjang. Adelia merasa lega karena dia tidak kena omel Eti, meskipun dia memang tidak berbohong tenang dirinya yang tidak menertawakan Mama dan Papanya Hera itu. Lebih tepatnya Adelia sedang menertawakan suaminya, Affandi Sanggara.
***
Ke esokan harinya Affandi kembali datang ke rumah kedua orangtua Hera. Pria itu terlalu bersemangat untuk bertemu dengan Hera, sampai dia datang lebih awal dari pada saat dia menjemput Hera kemarin. Dia akan selalu bersemangat jika ingin mendapatkan sesuatu hingga berhasil, setelahnya ya biasa saja.
"Baru jam berapa ini kamu sudah ada di sini?" tanya Hendra.
"Jam enam kurang, Pak," jawab Affandi kemudian tersenyum dan menatap Hendra yang membukakan pintu utama rumahnya.
"Apa tujuan kamu mendekati Hera sampai kamu rela membelikan barang-barang mahal?" tanya Hendra. Pertanyaan tersebut terus mengingat sejak kemarin saat dia tahu Hera pulang membawa banyak makanan, pakaian, produk-produk make up dan perawatan seluruh tubuh yang harganya lumayan.
"Maaf sebelumnya, Pak. Saya membelikan Hera semuanya, hanya semata karena saya ingin mengucap rasa terimakasih saya kepada Hera. Tidak lebih, Pak," ujar Affandi.
Hendra hanya menghela napas panjang. Dia tidak mau menjawab karena percuma saja, Affandi tetap akan mengelak.
"Kamu pikir, saya akan percaya dengan omongan kamu itu?" batinnya.
"Kamu mau ke sini karena mau antar anak saya sekolah, kan?" tanya Hendra.
"Benar, Pak. Kebetulan saya sama Hera searah, jadi lebih baik berangkat bareng saya saja," jawab Affandi kemudian tersenyum.
"Kalo misalnya benar kamu cuma mau niat berterimakasih, pasti gak masalah dong kalo Hera nolak diajak berangkat bareng sama kamu?" tanya Hendra lagi sambil mengangkat satu alisnya.
Senyum di wajah Affandi memudar perlahan tanda tak suka mendengar pertanyaan Hendra. Dia bahkan terdiam selama beberapa detik sebelum menjawab, "Tidak masalah, Pak. Kalau begitu saya permisi."
Setelah berpamitan, Affandi harus menelan kecewa karena tidak diperbolehkan mengantar Hera ke sekolah. Bahkan, melihat wajah gadis itu saja Affandi tidak sempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gundik Di Rumahku
Acak"Huek... huek...." Adelia berjalan mendekati gundik yang sedang berpegangan pada wastafel toilet khusus perempuan. Ia menatap pantulan wajahnya pada cermin, lalu melirik bayangan wanita yang berada di sampingnya. "Dalam suatu hubungan laki-laki dan...