p r o l o g

58 15 1
                                    

Suasana rumah bernuansa putih itu semakin tegang. Alden, anak sulung keluarga tersebut, terlihat geram, sementara Aurel, adik bungsunya, duduk dengan wajah penuh kecemasan.

"Lo ikut gue ke London," kata Alden dengan nada tegas, matanya menatap langsung ke arah Aurel.

"Gak mau, Kak. Gue maunya di sini. Gue mau lanjut SMA di sini," tolak Aurel, suaranya gemetar namun penuh harap.

"Lo keras kepala banget sih!" sergah Alden, suaranya mulai meninggi, menandakan kesabaran yang semakin menipis.

"Udah, Alden. Aurel di sini aja. Papah yang bakalan jagain dia, kamu balik ke London aja," Indra, Papah mereka, mencoba menengahi, suaranya tenang namun penuh otoritas.

"Gak, Pah. Kalo Aurel di sini, Alden gak bisa mantau dia," Alden bersikeras, tatapannya berpindah ke arah Papahnya.

"Kan ada Papah, kamu gak percaya sama Papah?" tanya Indra dengan nada yang tetap tenang namun tegas, mencoba menenangkan suasana.

"Bukan gitu, Pah. Aurel itu bandel nya minta ampun, jadi Alden harus totalitas jagain dia," Alden menjelaskan, nada frustrasi jelas terdengar.

"Gak, gue gak bakal bandel lagi asal sekolah di sini. Gue gak mau di London pokoknya," kata Aurel dengan suara memohon, matanya berkaca-kaca.

"Gue gak percaya. Lo di kasih lanjut SMA di Bandung biar lebih bisa disiplin malah makin jadi kelakuan lo," jawab Alden dengan nada kecewa, mengingatkan Aurel akan kegagalannya di masa lalu.

Aurel terdiam, merasa semakin terpojokkan oleh kata-kata kakaknya. Suasana semakin tegang, dan Aurel berusaha mencari cara untuk meyakinkan Alden bahwa ia bisa berubah.

"Serius, Kak, beneran. Lo tinggal bilang apa yang gak lo bolehin dan gue bakal turutin," tawar Aurel dengan mata penuh harap.

Alden memandang adiknya dalam-dalam, berusaha menilai kejujuran dalam kata-kata Aurel. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Alden menghela napas panjang.

"Lo ke kamar gue 5 menit lagi," kata Alden akhirnya, memutuskan untuk memberi Aurel kesempatan.

Aurel merasa sedikit lega meskipun tahu bahwa pembicaraan di kamar nanti akan menentukan nasibnya. Ia mengangguk, bersiap untuk menghadapi tuntutan kakaknya dengan tekad untuk membuktikan bahwa dirinya bisa dipercaya.

"Papah." Aurel beralih membujuk Indra dengan suara manja.

"Aurel gak mau ke London, Pah," rengeknya sambil menggoyang-goyangkan tangan papahnya.

"Papa udah belain kamu tadi, lagian kenapa sih? Di London kan bagus," balas papahnya dengan nada sabar tapi heran.

"Ih, Aurel kan gak tau bahasa Inggris, Aurel cuma tau yes no yes no, nanti kalau sampai di sana ada yang nanya, 'Anda mau tidak saya bunuh?' terus Aurel bilang yes, mati Aurel, Pah," jawab Aurel dengan mata yang membesar, seolah-olah benar-benar ketakutan.

"Aurel!" sentak papahnya dengan nada tinggi, terkejut sekaligus jengkel.

"Astaghfirullah, anak ini," papahnya mengusap wajahnya dengan tangan, berusaha menahan rasa frustrasi.

Di sudut ruangan, Ami, kakak perempuan Aurel, menahan tawa. Ia sudah pernah merasakan hal yang sama saat pertama kali Alden mengajaknya ke luar negeri, namun Aurel ini memang sedikit lebih bandel dan manja, makanya jadi lebih sulit dibujuk.

"Rel, gak ada gunanya lo ngeluh di sini. Mending ke kamar Kak Alden, bujuk dia," saran Ami sambil menggelengkan kepala, masih dengan senyum di bibirnya.

"Ih, ya udah deh," jawab Aurel dengan nada malas, lalu mulai berjalan ke arah kamar kakaknya dengan langkah berat.

Sesampainya di depan pintu kamar Alden, Aurel mengambil napas dalam-dalam dan mengetuk pintu.

"Kak!" panggil Aurel sambil mengetuk pintu kamar Alden.

"Masuk," jawab Alden dari dalam kamar dengan suara yang masih terdengar tegas.

Aurel membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Alden duduk di meja belajarnya, memandang Aurel dengan tatapan serius.

"Duduk situ," perintah Alden, menunjuk kursi di sudut ruangan.

Aurel duduk di tempat yang ditunjuk oleh Alden, merasa cemas.

"Gue bakal baca hal-hal yang gak gue bolehin, denger baik-baik," kata Alden dengan tegas.

Aurel mengangguk pelan, menunggu dengan cemas.

"Yang pertama, lo gak boleh keluar di atas jam 9 malam, dan kalau keluar lo harus minta izin ke mamah atau papah. Kalau gak diizinin, lo gak boleh keluar. Kalau keluar, harus diantar sama papah atau om Danu," jelas Alden.

Aurel mengangguk tanda setuju. Menurutnya, itu masih hal yang wajar.

"Yang kedua, batas keluar lo dalam sehari cuma sekali, selain dari sekolah. Dua kali, tiga kali, gak boleh. Apalagi kalau keluar cuma keluyuran gak jelas," lanjut Alden.

"Hah? Terus kalau soal tugas gimana dong?" protes Aurel.

"Pinter-pinter lo aja ngerjainnya gimana," jawab Alden dengan nada tegas.

"Yang terakhir, lo harus fokus belajar. Gue gak mau denger lo punya pacar atau lagi PDKT sama siapapun itu. Gak boleh," kata Alden dengan tegas.

"Lo becanda kan, Kak?!" tanya Aurel dengan nada tidak percaya.

"Gak, pokoknya lo harus jaga jarak sama cowok. Udah, tiga itu aja syaratnya. Mampu?" Alden menatap Aurel dengan serius.

"Ya syaratnya emang cuma tiga, tapi isinya banyak, Kak, sama aja," keluh Aurel.

"Mampu atau gak?" Alden menatap Aurel dengan tajam, menuntut jawaban.

"Yang ketiga gak bisa dihapus, Kak?" tanya Aurel dengan nada berharap.

"Mampu atau pindah ke London?" Alden mengancam dengan suara tegas.

"Mampu," jawab Aurel akhirnya, dengan nada pasrah.

Alden mengangguk, merasa sedikit lega. "Oke, gue pegang janji lo. Kalau lo langgar satu aja dari syarat ini, siap-siap pindah ke London."

🦋🦋🦋

Mau tau kelanjutannya nya gak?

Jangan lupa vote dan ramaikan komentar yaa, anw ini cerita pertamaku. Jadi support kalian itu berharga bangett.

sampai jumpa di chapter 1 nanti <3

AURAKA {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang