Bab 4; Kahlia

31 5 4
                                    

Diberkahi dengan kemampuan dapat melihat makhluk-makhluk tak kasat mata sama sekali bukan termasuk dalam daftar keinginan Kahlia ketika terlahir di dunia. Bahkan jika bisa, dia ingin menghilangkan keistimewaan itu, kalau yang seperti itu bisa diartikan sebagai ‘istimewa’. Rasanya, tak ada seorang anak pun yang akan memanjatkan doa dengan khusyuk, “Ya Tuhan, tolong! Aku ingin berteman dengan setan. Aku mau melihat mereka, biar bisa main domino bareng-bareng. Kabulkan, ya.” Jika memang ada pun, sungguh, Kahlia bukan termasuk dalam salah satunya.

Sejak kecil, gadis itu selalu dianggap aneh oleh banyak teman, karena sering berbicara tanpa ada seorang pun di dekatnya. Setiap dia menjelaskan bahwa dia sedang berbincang dengan A, dengan B, dengan C, sampai dengan X, semua kawannya akan tertawa dan mengatainya gila.

Dia dijauhi, dikucilkan, diperlakukan berbeda dengan anak-anak lain. Tak ada satu pun yang mau berteman dengan cewek aneh yang hobinya berbincang sendiri. Padahal, mereka saja yang tak tahu, bahwa Kahlia tak membual. Dia memang sedang bicara dengan ‘seseorang’ yang tak bisa dilihat manusia lain. Tak jarang, gadis itu didatangi satu sosok (atau banyak sosok) yang meminta bantuannya. Hantu, sebut saja penggambaran ‘sosok’ di sini seperti itu, karena nyatanya, ‘mereka’ memang hantu. Setan, arwah, roh, makhluk halus, apa pun, deh.

Permintaan ‘mereka’ juga beragam. Dimulai dari, “Tolong bilang ke dia kalau aku sayang dia.” Hingga, “Tolong balaskan dendamku pada si itu.” Dan macam-macam yang lain, yang cukup mengganggu, membuat frustrasi.

Faktanya, Kahlia pernah membawa dirinya ke psikiater saat duduk di bangku sekolah menengah atas, saking getolnya makhluk-makhluk itu mendatanginya dengan segala keluhan. Namun, tindakannya betul-betul keliru. Bukannya mengurangi depresi, dia malah berakhir dengan mendekam di rumah sakit jiwa selama setahun. Sekolahnya terpaksa berhenti. Kedua orang tuanya menangis karena tak menyangka anaknya menjadi sinting.

Kahlia sempat memberontak, tetapi itu semakin membuat predikat gila menempel kuat, menjadikan banyak orang semakin yakin bahwa dirinya memang sedang kehilangan akal waras.

Akhirnya, dia menyerah. Dia melakukan apa pun yang diperintahkan oleh pihak rumah sakit. Gadis itu akan makan dengan baik ketika waktu makan telah tiba, tertawa dengan ringan ketika ada perawat yang melakukan terapi bermain untuk penderita kejiwaan. Kahlia Yachnee benar-benar melakukan perannya sebagai penderita-gangguan-jiwa-yang-hampir-sembuh dengan sangat mengesankan, hanya demi kebebasannya lagi di luar rumah sakit.

Apa itu berarti para hantu berhenti mendekatinya? Tidak. Tidak sama sekali.

Kahlia masih dapat melihat mereka, masih sering mendengar suara para makhluk itu meminta pertolongan, tetapi gadis itu benar-benar mencoba tak peduli. Dia harus berusaha keras agar tak berteriak jika ‘mereka’ menakutinya. Atau bahkan menangis, karena jika pihak rumah sakit melihatnya melakukan hal-hal itu tanpa sebab, kebebasannya akan sangat sulit diraih.

Setahun lamanya dilalui dengan akting-akting mengagumkan; menjadi penderita kejiwaan dengan sangat apik, akhirnya Kahlia mampu melanjutkan hidupnya yang terjeda. Dia dinyatakan sembuh, diizinkan pulang dengan mengantongi status baru: ODGJ Pulih. Segala kepura-puraannya terbayar.

Setelah bebas, dia memutuskan untuk meninggalkan rumah orang tuanya, hidup mandiri di kota yang berbeda. Gadis itu tak membenci ayah ibunya, sungguh! Hanya saja, dia sedikit terganggu ketika kedua manusia yang paling disayanginya itu memperlihatkan tatapan aneh, seolah berkata, apa-anakku-benar-benar-sudah-sembuh? Coba katakan, putri mana yang merasa baik-baik saja, jika orang tua kandung bertingkah seperti insan paling berdosa karena telah membiakkan anak dengan gangguan mental?

Jadi, ya. Dia pergi, di usianya yang masih belasan kala itu. Gadis itu tak punya ijazah, hanya berbekal kartu identitas yang baru saja didapatkan.

Namun beruntung, beberapa lama setelah memutuskan tinggal di Antapani, Kahlia bertemu seorang pria baik hati—yang mempunyai jalan kehidupan hampir sama dengannya. Perbedaan mereka hanya terletak pada adegan rumah sakit jiwa dan putus sekolah. Selebihnya, sama. Persis. Mirip.

Dancing with the Ghost (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang