Bab 22; Beginning

18 6 3
                                    

“Jangan gila!” teriak Kahlia, ketika mendengar rencana dari atasannya. “Menurutmu apa yang bakal kejadian setelahnya? Dia bangkit, hidup lagi, jadi mayat hidup. Semua orang pasti takut.”

“Aku enggak peduli sama pendapat orang.” Daren tetap bersikeras, tampak bersungguh-sungguh.

“Sekalipun Ursa balik, dia bukan istrimu. Percaya sama aku. Semuanya pasti buruk. Dia bukan Ursa. Ursa itu udah di Surga, jadi enggak bakal bisa balik ke sini lagi.”

“Gimana pun dia tetap Ursa. Ursa-ku.” Daren mengajak Kahlia keluar dari kamar, menutup dan mengunci pintunya. “Lagian, kamu juga jadi enggak sendirian lagi, 'kan? Dia bisa jadi temanmu kayak dulu.”

Sang Gadis menggeleng dengan tegas, sepenuhnya tak setuju. “Enggak akan ada yang kayak dulu. Ursa udah enggak di sini, kamu harus terima.”

“Jangan sok tahu...”

“Terserah. Tapi jangan cari aku kalau ada hal-hal buruk, ya. Aku mau pulang.”

***

Keesokan harinya, Ladaren tak ada di ruangan kantor. Kahlia ingin sekali tak peduli, tetapi hatinya benar-benar cemas. Bukan mencemaskan sosok pria itu. Dia mencemaskan tindakan yang akan dilakukan oleh atasannya. Dia mencemaskan konsekuensi yang harus ditanggung setelah segalanya benar-benar terjadi. Gadis itu bergidik ngeri. Dia memang tak pernah mengalaminya di dunia nyata, tetapi banyak cerita yang mengisahkan tentang penghidupan kembali untuk orang yang sudah mati. Dan semua ceritanya berakhir tragis.

Bukan hanya hari itu saja Ladaren kembali meninggalkan kantor. Tiga hari berikutnya pun sama. Pria itu menghilang, hanya memberi tahu Yalena bahwa dia sedang ada urusan jauh dari Antapani selama beberapa hari. Kahlia benar-benar was-was. Dia yakin Daren benar-benar akan melakukan rencananya. Satu-satunya yang dia ingin ketika segala ketakutannya terjadi adalah pergi sejauh mungkin dari kehidupan Daren dan Ursa. Dia tak mau terlibat dalam segala sesuatu yang mungkin bisa berdampak buruk padanya. Namun, pergi jauh yang bagaimana? Kantornya saja sama dengan Daren.

“Masa aku harus bikin surat pengunduran diri?” gumamnya, saat sedang duduk sendirian di apartemennya sepulang dari kantor.

“Tapi aku kerja di mana? Pekerjaan bisa dicari. Lagian, aku juga masih punya uang. Tapi aku enggak punya ijazah.” Gadis itu tetap bergumam sendri, menimbang-nimbang. “Aduh, gimana ini?”

Kahlia debat dengan pikirannya sendiri. Dia kembali diam, mencoba berpikir sekali lagi apa yang harus dilakukan. Dia adalah salah satu perempuan yang akan mengandalkan logika terlebih dahulu. Jika dirasa sesuatu akan merugikan, dia akan sebisa mungkin menghindarinya.

Belum sempat memutuskan, suara bel pintu menggema di apartemen. Bukan hal aneh sebenarnya, tetapi entah kenapa untuk kali ini, Kahlia benar-benar terlonjak hingga jatuh dari sofa. Gadis itu menatap jam dinding. Pukul sepuluh malam. Akhir-akhir ini yang sering bertamu pada jam yang sama hanya Ladaren. Mungkinkah?

Kahlia berjalan ke ruang depan, tetapi tak segera membuka pintu. Ada rasa ingin berpura-pura tidur saja dalam hatinya, tetapi juga terbersit rasa penasaran tentang seseorang di balik pintu.

Ting Tong!

Bel kembali berbunyi. Kahlia membuka pintunya dengan gemetar.

Bukan hanya seseorang yang berdiri di hadapannya, melainkan dua orang; Ladaren dan Ursa.

***


Kedua retinanya masih sehat. Tak ada keluhan yang berhubungan dengan mata sedikit pun yang pernah dialami Kahlia. Dan memang netranya tak salah melihat. Di depannya, memang berdiri seorang sahabat yang sudah mati. Kahlia tercengang, menatap Ursa tanpa berkedip, beralih memandang kaki perempuan itu. Sepasang kaki itu menapak dengan sempurna, dibalut sepatu kets berwarna hitam.

Dancing with the Ghost (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang