Bab 14; Jealous?

53 5 4
                                    

Kejadian di kantin tadi siang sampai di telinga Daren setelahnya, membuat pria itu langsung berpikiran ke satu orang; Kahlia. Pasti hantu laki-laki yang menjadi teman Kahlia itu yang membuat kegemparan di siang terik tadi. Ketika Dani bercerita, sebenarnya pikiran awalnya tertuju pada Ursa. Di otaknya hanya tertanam satu hantu; Ursa, Ursa, Ursa. Namun, otaknya yang sempat tersumbat segera kembali berfungsi dan ingat bahwa Ursa sudah pergi. Ursa tak akan kembali.

Malam ini, pukul setengah sepuluh malam, Daren sudah berdiri di depan pintu apartemen Kahlia. Bukan sekali dia bertamu pada malam hari di kediaman karyawannya ini, tetapi ini kali pertama setelah sekian lama dia mengurung diri di rumah. Dia memencet bel, hingga terdengar sahutan dari dalam. Disusul oleh bunyi langkah kaki yang kian mendekat. Kahlia membukakan pintu.

"Pak Daren!" pekik gadis itu, ketika melihat bosnya berdiri di depan rumah. Setelah sekian lama tak melihat Ladaren, pria itu berubah sedikit kurus. Ada sedikit lingkar hitam pada bagian bawah mata yang biasanya bersih tanpa noda. Lelaki itu kurang tidur, mungkin masih mengalami masa-masa berat pasca ditinggal oleh sang Istri.

Tapi bukannya dia udah ada pengganti?

"Boleh masuk?" Kalimat yang terlontar dari mulut Ladaren membuat Kahlia segera sadar dari sekelebat pemikiran tentang pengganti Ursa yang tak tahu siapa.

"Oh, iya. Silakan masuk," katanya, lalu meminggirkan tubuh agar sang Bos bisa masuk.

Mereka duduk di ruang tengah secara formal, selayaknya atasan dan karyawan. Kahlia menawarkan minum seperti keharusan pemilik rumah yang budiman, tetapi Daren menolak dengan halus. Dia tak butuh minum, atau makan, atau camilan apa pun. Dia hanya ingin memastikan satu hal.

"Mana hantumu?" tanya Daren, tanpa basa-basi. Membuat pegawai wanitanya itu mengernyit bingung.

"Maksudnya Chick?" Kahlia balik bertanya.

"Dani cerita tentang kejadian tadi siang di kantin kantor. Itu ulahnya, 'kan?"

Jujur, setengah hati Daren berharap Kahlia akan menggeleng dan mengatakan bahwa itu ulah Ursa. Seberapa besar pun kenyataan yang telah diketahuinya, hati kecilnya tetap menginginkan perihal yang sama. Sesuatu yang sangat tak mungkin terjadi, mengingat bahwa Ursa sudah tak ada. Jadi, ketika Kahlia menganggukkan kepala (dan pasti dia akan berbuat begitu) Daren tak bisa menyembunyikan kekecewaan. Duduknya merosot. Badannya lesu. Membuat Kahlia kaget melihat respons yang diberikan oleh pria itu. Tampaknya, sang Bos belum benar-benar mengikhlaskan istrinya.

"Itu bukan Ursa, Pak," kata Kahlia hati-hati, seperti paham betul apa yang dipikirkan atasannya.

Daren mengangguk pelan. Sebuah gerakan yang menyiratkan bahwa segala yang ada di otaknya tak akan terjadi. Dia harusnya tak menaruh harap sedikit pun. "Kepalaku masih kasih harapan. Ternyata semuanya enggak gampang."

"Aku pikir kamu udah ikhlas."

"Gimana bisa?" Ujaran Kahlia barusan membuat Daren menatap dengan cepat, dengan sorot penuh kesakitan dan rasa rindu. "Gimana bisa aku ikhlas, Li? Gimana caranya?"

Cukup untuk membuat sang Gadis menelan ludah, tak berani menjawab kata-kata bosnya. Pria di sampingnya benar-benar menampakkan aura tertekan yang sangat luar biasa. Seakan dunianya baru saja jatuh, runtuh, tertutup dengan banyak sekali kerikil dan membuatnya terkubur hidup-hidup, sulit menemukan jalan keluar. Dan mungkin, memang itu yang dirasakannya saat ini. Hidupnya jungkir-balik.

"Maaf, ya, Pak," kata Kahlia, ketika Daren masih saja menatapnya dengan sorot yang sama. "Maaf aku enggak bisa berbuat apa-apa buat sakitmu. But trust me, I can feel it, walaupun enggak sebesar rasamu."

Daren membungkukkan tubuh, menopang kepalanya dengan kedua tangan. Gerakan khas seseorang yang sedang dilanda penat dan putus asa. Membuat Kahlia kembali dilanda perasaan serba salah.

Dancing with the Ghost (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang