Bab 19; Kembali

33 6 15
                                    

Koridor rumah sakit sudah benar-benar sepi. Bagaimana tidak? Waktu telah menunjukkan hampir pukul tiga pagi saat ini. Rendra berjalan sendiri tanpa takut, mengenakan headphone berwarna putih. Dia baru saja kembali dari mengisi perutnya di warung depan rumah sakit. Setiap malam, memang sudah menjadi tugasnya untuk menunggui adik satu-satunya yang entah kapan akan sadar.

Pemuda itu membuka pintu kamar rumah sakit tempat adiknya berbaring, segera menuju sofa tempat favoritnya untuk menunggu hingga pagi tiba. Dia melepas jaket, melipatnya dengan rapi agar bisa dijadikan sebagai bantal. Ketika akan merebahkan tubuh, perhatiannya teralih pada suara di layar perekam detak jantung yang tersambung pada tubuh Kaffa. Garis-garis pada layar itu meningkat, menandakan bahwa detak jantung Kaffa juga ikut bekerja lebih cepat.

Rendra bangkit dari sofa dan mendekati ranjang rumah sakit. Dia menatap wajah adiknya yang benar-benar pucat. Berbulan-bulan dia berbaring di ranjang yang sama, tanpa pergerakan apa pun. Tak ada tanda-tanda dia akan sadar, bahkan detak jantungnya kian melemah. Namun hari ini, Rendra melihat suatu harapan baru di layar pendeteksi detak jantung.

Harapan itu cepat terkabul, ternyata. Tangan kanan Kaffa bergerak pelan, tetapi gerakan singkat itu cukup membuat Rendra terkejut bukan main.

“Kaf?” panggilnya. Hening. Tak ada jawaban apa pun. Namun, lagi-lagi tangan itu bergerak. Rendra dengan sigap menyentuh tangan Kaffa yang bebas dari selang infus, mengguncangnya pelan.

“Kaf, bisa denger?”

Tetap tak ada jawaban. Tak menyerah, Rendra mengguncang tangan adiknya sedikit lebih keras.

“Kaffa!”

Hingga akhirnya, mata itu terbuka dengan perlahan. Mata kaffa yang telah lama tertutup, kini terbuka dengan pandangan tidak fokus, membuat Rendra tak bisa menyembunyikan kegembiraan.

“Suster! Suster, adik saya bangun! Suster!”

Dia berteriak di keheningan dini hari. Berteriak lantang karena tak ingin pergi meninggalkan Kaffa sendirian, walaupun hanya untuk memanggil suster.

“Ke mana, sih!” gerutunya, ketika tak ada satu pun suster yang masuk. “Suster!”

Kaffa memandangi Rendra yang sedang berteriak-teriak. Prediksi dokter tentang hilang ingatan benar-benar meleset. Faktanya, dia ingat dengan sosok kakaknya yang sedang kalut saat ini. Ingat siapa nama pria itu, apa hubungan mereka, ingat sepenuhnya. Kaffa tak lupa.

“Kaf, ini berapa, Kaf?” Rendra menunjukkan dua jari, mencoba mengetes kesadaran adiknya. Bodoh. Di mana-mana, orang baru saja siuman tak akan menjawab pertanyaan seperti itu.

“Lo ingat gue, ‘kan?” lanjut Rendra. “Jangan tidur lagi, ya. Sebentar. Gue panggil suster dulu. Jangan pingsan lagi, Kaf! Gue tonjok betulan kalau lo merem lagi.”

Kaffa diam saja, hanya berkedip menatap Rendra yang sudah berlarian keluar dengan tergesa, bahkan sampai terpeleset ketika pertama membuka pintu. Tak butuh waktu lama, hanya beberapa menit, laki-laki itu kembali dengan membawa seorang dokter laki-laki. Rendra dilarang masuk selama dokter itu memeriksa, akhirnya pemuda itu menunggu di luar. Dia mengeluarkan ponsel, dan menelepon seseorang.

“Halo, Ma! Kaffa sadar. Ini sekarang lagi diperiksa sama dokter.”


***

Dan Kaffa masih tetap sadar hingga matahari terbit. Satu per satu kerabat dekatnya datang untuk menjenguk dan menyambut. Semua bersuka cita, apalagi Ilya. Dia tak henti menangis bahagia, tak repot menyembunyikan air mata seperti sebelum-sebelumnya. Dan Kaffa benar-benar ingat semuanya. Dia ingat pada kedua orang tuanya, teman-temannya yang datang berkunjung, Ilya, semuanya. Semuanya, kecuali kehidupannya sebagai hantu.

Tak ada satu pun yang diingatnya, sama sekali. Tak ada ingatan tentang Antapani, tentang gang sepi tempatnya pertama kali bangun sebagai arwah, tentang tempat tinggalnya selama menjadi hantu, bahkan tentang Kahlia. Bahkan mungkin, Kaffa juga tak tahu siapa itu Chick.

Semakin berjalannya hari, kesehatannya semakin membaik. Dia belum diizinkan untuk pulang ke rumah, tetapi segalanya tampak bagus. Kaffa sudah bisa diajak berbicara dengan lancar, bisa bergurau, bisa makan sendiri. Segala mimpi buruk berbulan-bulan yang lalu telah lewat.

Portal-portal berita tak henti mengabarkan tentang kesehatan Kaffa yang berangsur pulih. Foto-fotonya bertebaran di mana-mana, dari televisi hingga forum internet, lengkap dengan Rendra atau Ilya yang sedang menemaninya.

Satu-satunya orang yang selalu mengikuti perkembangan dari berita-berita itu adalah Kahlia. Dia membaca segalanya dari jauh, tersenyum karena Chick sudah bisa berkumpul dengan keluarganya. Di dalam foto atau video, pria itu tampak semakin tampan, berbeda dengan penampilannya yang pucat ketika menjadi hantu. Namun, bagaimana pun, laki-laki itu tetap Chick-nya, terlepas dia hantu atau pun manusia.

Dalam hati, Kahlia sudah tahu bahwa Chick tak akan mengingatnya. Pemuda itu akan melupakan semua tentang Antapani, termasuk dirinya. Firasatnya sudah memberikan alarm peringatan. Namun, dia tetap saja merasakan sakit. Ditinggal oleh seseorang yang sudah terlampau dekat tanpa ada komunikasi sama sekali setelahnya bukan merupakan sesuatu yang menyenangkan, ‘kan?

Tanpa teman dekat, Kahlia tetap menjalani hari-harinya. Setelah malam tangis yang panjang sepeninggal Chick, dia memutuskan libur bekerja satu hari. Daren segera menghampirinya ke apartemen, lalu tahu apa alasan yang membuat karyawannya tampak kacau seperti itu.

“Sekarang, kamu tahu, ‘kan, gimana rasanya ditinggal pergi?” Itu yang diucapkan oleh Daren kemarin. Kahlia hanya mengangguk, karena rasanya luar biasa sakit.

Bukan hal yang mudah untuk merelakan sesuatu yang telah pergi. Perpisahan memang tak menyenangkan, dengan siapa pun perpisahan itu dilakukan. Kahlia merasa hampa. Bahkan, beberapa hari setelah Chick pergi, gadis itu masih sering berteriak memanggil namanya sepulang dari kantor. Namun, ketika sadar, rasa kosong itu kembali melanda. Hatinya berlubang.

Dia selalu mengikuti apa pun tentang Langit Kaffatan, bahkan akun sosial medianya. Tak pernah ketinggalan sedikit pun jika laki-laki itu update tentang kesehariannya, seperti misalnya saat dia sedang berlatih menyanyi atau mengunggah lagu baru. Bukan sekali dua kali Kahlia mendengarnya bernyanyi. Selama menjadi hantu, Chick juga sering bersenandung kecil dan suaranya memang bagus. Lebih bagus jika ditambah musik seperti sekarang. Laki-laki itu memang bertalenta, seperti katanya di malam terakhir.

“Enggak coba hubungi dia? Siapa tahu dia ingat kamu,” tanya Daren, ketika mereka berdua sedang makan bersama. Percaya atau tidak, Daren dan Kahlia sering jalan berdua sepeninggal Chick.

“Dia enggak ingat,” kata Kahlia, ikhlas. Mencoba ikhlas. “Biar aja. Lagian, lihat dia bahagia begitu, aku juga bahagia, kok.”

Bohong, walau tak sepenuhnya. Kahlia bahagia, memang. Chick berhasil kembali, bertemu seseorang yang memang seharusnya ada di hidupnya. Pemuda itu bisa melanjutkan dunianya yang terjeda, yang memang sepatutnya begitu. Namun, hati Kahlia menganga. Seperti ada ceruk besar yang sulit ditambal, tak ada bahan baku yang sesuai. Chick adalah satu-satunya bahan baku, yang tak bisa digantikan oleh manusia mana pun, atau hantu mana pun.











- the end -











(Tapi boong 😝)

Dancing with the Ghost (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang