Si Boss Killer

88 28 94
                                    

Ku buka pintu ruang Pak Messach dengan perlahan.

"Permisi, Pak... " sapaku sopan melebarkan sudut bibirku membentuk senyum manis.

Pak Boss yang duduk di kursi kebesarannya sedang menulis lalu mendongakkan kepala demi mendengar sapaanku. Mata kami saling bertubrukan. Secepat kilat aku menundukkan kepala. Bukan karena desiran aneh seperti yang ditulis di novel namun karena mata nya laksana mata banteng yang sedang marah. Pak Messach punya alasan tepat mencecarku saat ini, bahkan lebih dari itu! Dipecat misalnya? Tapi masa gara-gara aku ngantuk saat meeting dan insiden itu?

"Duduk!!" titahnya lantang.

Aku terkejut seketika melipat bibirku.

Akh, heran aku kenapa pria di depanku ini tak bisa berkata lembut sedikit pun. Wajahnya sih tampan tapi sayang kaku bagai papan triplek. Coba dia lebih ramah sedikit saja pasti akan kuberikan jempolku semua untuknya.

"Apa kamu mau berdiri di situ terus?!" sindir Pak Messach dengan mata yang mendelik.

"O iya ya, Pak.. " Aku gelagapan.

Ah, bisa-bisanya aku melamun lagi.

Aku segera meraih kursi di depanku, menariknya mundur lalu hendak menghenyakkan bokongku di situ tetapi entah karena rasa gugup yang menguasai diriku atau karena kursinya yang ditarik terlalu lebar bokongku tidak menyentuh dudukan kursi, aku hampir jatuh terjengkang untung tanganku refleks meraih pinggiran meja, Pak Messac ikutan kaget, dia spontan meraih tanganku dan menahannya beberapa detik. Kami seketika saling memandang. Aku merasakan rasa panas menjalar ke mukaku, apa wajahku bersemu merah? Ah! Rasanya malu banget. Bisa-bisanya aku hampir terjatuh di depan bos!

"Ma.. Maaf.." cicitku menundukkan kepala segera berdiri tegak.

Pak Boss melepaskan genggamannya lalu geleng-geleng kepala.

Aku tidak berani memandangnya, cepat ku seret kursi dan duduk tepat pada dudukan kursi, jangan sampai meleset lagi.

Ku tunggu perintah Pak Boss selanjutnya dengan hati berdebar dan mata memandang ubin.

"Liana!" suara bariton itu membuat kepalaku mendongak.

"Ya.Pak?" Mataku mengerjap.

Pak Messach menyodorkan selembar kertas padaku.

Ku meraihnya dengan tangan gemetar.

Apa ini surat pemecatanku? Oh nasibku..

"Liana? Apa kamu belum makan?" tanya Pak Boss dengan kening berkerut.

"Hah??" Aku melongo. Jujur, aku tidak mengerti korelasi antara pertanyaannya dengan situasi ku ini. Tak mungkin kan dia ajak aku makan siang? Siapalah aku ini...

"Tanganmu gemetar? Apa kamu kelaparan??" tanyanya lagi, kali ini kepalanya maju mendekat ke wajahku.

Aku gugup ditatap intens begitu, mata coklatnya bersinar. Dari jarak dekat dia terlihat lebih tampan, Mata itu aslinya teduh. Ku lihat ada sedikit lekukan di ujung bibirnya. Senyuman tipisnya saja sudah menambah kegantengannya, andai dia lebih banyak senyum pasti....

Ku gelengkan kepala cepat sambil mengibas tanganku mengusir pikiran nyelenehku.

"Oh ga, Pak. Bapak sangat tam.. Eh maksudku, aku ga lapar!" sergahku cepat. Belum habis rasa maluku tadi ditambah lagi salah ucap.

Astaga! Kenapa lidahku ini tak bisa dikekang? Hampir saja aku berlaku seperti penggoda boss? Ck!

Dia mendengus. Barangkali dia kesal punya pegawai kikuk kayak aku ini?

Layangan AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang