Aku menyandarkan kepalaku pada sandaran di kursi ergonomis dengan relax setelah sekitar dua jam melakukan pertemuan dengan Mr. Goh dan sekaligus menemaninya makan siang. Aku puas dengan hasil kesepakatan kerja, perusahaannya siap berinvestasi pada perusahaan yang kupimpin ini. Harapanku dengan dibukanya pabrik kompunen komputer, bisa membuka lowongan kerja.
Kuregangkan otot leherku mengusir kepenatan.
Tok-Tok.
"Masuk!" titah ku sembari melirik arloji ku yang melingkar di pergelangan tangan, menunjuk pada angka 17.45.
Pintu dibuka perlahan, seorang gadis melongokkan kepalanya dari balik pintu dengan wajah canggung, mengangguk dan tersenyum tipis
"Liana... "desisku lirih.
"Sore, Pak.. "
Suara itu bukan milik Liana, ck! Kenapa aku kepikiran dia terus? Aku bahkan lupa siapa yang aku panggil menghadap.
"Bapak panggil saya?" tanya Loni, pegawaiku, rekan kerja Liana.
Aku menganggukkan kepala, "Ya, duduklah."
Loni pun menarik kursi di depan mejaku dan duduk di situ. Selintas kenangan menyapa, aku ingat Liana pernah hampir jatuh terjerembab saat mau duduk di kursi yang ditempati Loni sekarang andaikata tidak kuraih tangan gadis kikuk itu secepatnya. Wajah bulat Liana memerah dan mata bening itu terbelalak lucu, saat itulah entah kenapa aku mulai terkenang dengan seorang gadis kecil masa lalu yang dipanggil dengan nama Nana.
Loni diam menungguku bicara. Sudah lewat jam kantor, ini bukan soal pekerjaan yang ingin kurundingkan dengannya. Tentu saja, serta merta karena Loni adalah teman Liana.
"Santai saja, Loni." Senyumku melihat ketegangan dari bahasa tubuhnya.
Loni menganggukan kepala mengilas senyum tipis.
"Apa kamu sudah tahu kabar, Liana?" tanyaku to the point. Aku orang yang tidak suka belat-belit, sudah empat hari Liana tak masuk kerja patut ditanyakan bukan?
Loni menggeleng kepala,"Ga ada, Pak.. Ponselnya ga aktif."
Aku menghembuskan napas, sudah kuduga.
"Terakhir kamu chat dia bilang apa?" tanya ku lagi.
"Terakhir kami pulang bareng abis nengokin bapak di rumah sakit, besok sorenya saya chat WA dia ga balas, besoknya lagi ponselnya sudah tak aktif lagi, Pak." Loni menggigit bibirnya, dia pasti cemas.
"Kamu sudah ke tempat kostnya?" Gelengan kepala Loni meniup harapanku untuk tahu lebih banyak tentang Liana.
"Saya dan Liana hanya teman kerja, kami jarang ketemu di luar kantor. Lagian Liana itu tipe introvert, jarang bergaul." jelasnya.
"Jadi kamu belum pernah ke tempat kostnya?"
"Belum, Pak, apa mungkin dia pulang kampung?" tebak Loni, kusanggah dengan gelengan kepala.
"Rasanya tidak, mamanya yang bilang."
"Mamanya??" Mata Loni melebar sedikit.
Aku tersenyum memahami keterkejutannya.
"Mama tiriku berteman dengan mamanya." jelasku kemudian. Loni mengangguk-anggukan kepala mulai paham.
Karena pertemanan itulah timbul ide orang tua kami untuk menjodohkan aku dan Liana yang ditentang keras oleh gadis itu bahkan dia tidak mau tahu menahu siapa pria yang dijodohkan oleh mamanya. Wajar sih, siapa yang mau suka rela meninggalkan sang kekasih demi jodoh pilihan orang tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Layangan Asa
RomanceLiana, hanya ingin dinikahi setelah begitu lama dipacari oleh sang kekasih hati, Tio. Mereka sudah cukup umur menikah, sudah mapan secara kerjaan, saling mencintai tentunya? Apalagi yang ditunggu? Desakan Teresa, Ibu Liana membuat gadis itu pusi...