BAB 1: MASALAH BARU

149 13 1
                                    

BAB 1: MASALAH BARU

“Katanya: Jangan pernah mengenal jika takut ditinggalkan, tapi nyatanya, hidup tanpa mengenal itu tidak bisa.“

°°°

Langit jingga kota Jakarta mulai menghilang. Samar-samar mulai berganti abu, menyambut tetes air yang melaju bebas. Sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan pintu TPU. Sepulang sekolah tadi, gadis itu meminta kepada supirnya untuk mampir sebentar, melepas rindu dengan seorang wanita yang sudah lama tidak ia lihat wajahnya, tidak ia dengar suaranya, dan tidak karena sosoknya sudah lama tidak ada di bumi. Lebih tepatnya dua Minggu sebelum Adhira dan ayahnya pindah ke Jakarta.

Adhira melangkah keluar mobil dengan payung kuning yang ia pegang. Berjalan pelan-pelan, menghindari makan lain hingga sampai pada tujuannya. Sebuah makam yang masih penuh akan bunga. Adhira yakin, beberapa hari yang lalu pasti ayahnya mampir ke sini.

“Assalamualaikum, Bunda....”

Gadis itu terduduk di pinggir makam, tangannya terangkat mengusap halus batu nisan yang bertuliskan nama ‘Gentari Haura’. Air matanya luruh begitu saja. “I miss you, Bunda,” ucapnya lirih. Adhira kemudian memungut bunga-bunga yang layu untuk diganti dengan yang baru. Selanjutnya Adhira menaburkan bunga dan menyiramnya dengan air yang ia beli di depan.

“Bunda... kangen dielus, kangen dimarah, kangen... aku kangen dikhawatirin sama, Bunda...,” ucapnya lirih. Tubuhnya luruh, berhambur memeluk erat batu nisan di hadapannya. Tidak peduli pakaiannya akan kotor dengan tanah yang bercampur air. Tangisannya semakin pecah kala kilasan tentang sang bunda muncul di ingatannya.

“Bunda, Jakarta-Bandung itu jauh, tapi sekarang ayah dan Adhira sudah menetap di Jakarta. Bunda pasti senang, kan? Sekarang enggak ada jarak yang bisa pisahin kita lagi,” tutur Adhira, masih dengan matanya yang sembab.

“Oh, ya, sekarang di sekolah yang baru aku punya banyak teman. Namanya Gea dan Adam, mereka yang duluan ngajak aku buat gabung sama mereka. I am very happy, Bun.” Adhira memaksa senyumnya, bercerita tanpa mendapat tanggapan apa pun hanya menghibur diri sesaat. “Bunda, Adhira juga masih suka nulis, seperti yang bunda bilang: Jika kamu sulit bercerita dengan orang lain, luangkan waktu, tuangkan semuanya dalam sebuah buku. Dengan begitu kamu bebas menyiapkan jawaban apa yang ingin kamu dapati.

Gadis itu berdiri. Dia harus segera pulang sebelum ayahnya tiba di rumah. “Bunda... Adhira pamit, assalamualaikum....”

Langit semakin gelap sempurna. Hujan juga sudah mulai mereda. Gadis itu menguncupkan kembali payungnya. Lalu beranjak meninggalkan makam sang bunda. Langkahnya tertahan saat matanya tidak sengaja melihat sosok cowok yang satu hari ini ia cari. Cowok berjersey basket dengan headband putih yang melingkar sempurna di kepalanya.

“Hey, tunggu!” panggil Adhira, sedikit berteriak.

Cowok itu menoleh. Keningnya berkerut dan matanya sedikit menyipit. “Loh, kamu?”

Gadis itu berjalan mendekat, tangannya terangkat sebahu menyapa, “Hai!” Cowok di depannya mengangguk kecil. Setelah posisinya tepat di depan cowok itu, Adhira menjulurkan tangan kanannya. “Gue Adhira, ngomong-ngomong terima kasih, ya, buat yang tadi pagi,” ucapnya. “Kalo enggak ada lo, mungkin gue udah pulang ke rumah karena enggak bisa masuk ke sekolah.”

Cowok itu membalas uluran tangan gadis di depannya seraya tersenyum. “Gue Darel,” balasnya. Terjadilah tatapan beberapa detik, sebelum pada akhirnya Adhira memutusnya. “Hahaha. Santai saja kali,” ujar Darel.

STAY IN 2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang