BAB 4: PERMINTAAN PERTAMA

122 12 4
                                    

Selamat malam semuanya

Akhirnya aku update lagi

Jangan lupa komen dan pastinya vote, ya!!

Kalian tau nggak, penulis itu senang banget ngeliat reaksi dari pembacanya

Aku menerima semuanya, kritik, masukan, dan semuanya....

Selamat membaca....

4. PERMINTAAN PERTAMA

“Sekuat-kuatnya manusia, pasti punya titik terlemahnya.”

°°°

Hampir seluruh wilayah Smarya sore ini dipenuhi oleh siswa-siswi yang tengah mengikuti latihan ekstrakurikuler. Utamanya adalah lapangan basket yang dipenuhi oleh siswi yang bersorak kala Darel berhasil memasukkan bola ke dalam ring.

“Kerja bagus sobat!” teriak Nathan heboh seraya merangkul Darel.

Cowok yang mengenakan jersey basket Smarya itu tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. Sekilas ia menoleh pada gadis berkepang yang ikut bertepuk tangan bersama kerumunan orang. Darel menoleh pada Nathan, seakan memberi kode untuk selesai.

Pertandingan pun berakhir dengan skor 4-1. Kali ini pertandingan kembali dimenangkan oleh tim Darel. Semuanya bersorak bangga. Walaupun hanya latihan, tapi ini sudah sangat membanggakan. Cowok yang mendominasi dalam kemenangan itu menjabat tangan satu-satu yang terlibat dalam pertandingan itu. Wajahnya yang basah akan keringat menambah tingkat ketampanannya. Ia menyugar rambutnya membuat siswi yang menonton berteriak histeris.

Nathan menepuk pundak Darel. “Memang boleh buat anak orang histeris,” komen Nathan.

Darel menoleh ke arah pinggir lapangan. Senyum di wajahnya tidak memudar. Masih ada Adhira di sana, dan sekarang ia akan menghampiri gadis itu, yang tengah memegang botol air mineral. Darel melepas handband dan menitipnya kepada Nathan. “Gue ke sana dulu,” pamit Darel yang dibalas anggukan.

“Hai!” sapanya ketika ia sudah berdiri di depan Adhira. Gadis itu membalas lewat senyum seraya menawarkan air mineral. “Wih, serius buat gue?” tanya Darel.

Adhira mengangguk. “Ini buat lo karena udah sering bantu gue,” terang Adhira.

Cowok itu mengambil air itu, lalu membukanya dan meminumnya hingga tersisa setengah. “Kenapa belum pulang?,” tanya Darel. Cowok itu melepas headband dari kepalanya, kemudian menyisir rambunya ke belakang.

“Gue enggak tahu harus balik sama siapa,” jelas Adhira. Tadi, sebelum ia keluar dari kelas, ayahnya mengabarinya jika hari ini laki-laki paruh baya itu harus berangkat ke Semarang untuk urusan kerja. Di tambah, pak Budi—supir pribadinya—tidak dapat menjemputnya karena istrinya sedang mengalami kontraksi rahim.

“Kalo gitu bareng gue aja,” tawar Darel. Cowok itu menarik Adhira menuju kerumunan teman-temannya. “Gue balik duluan!” pamit Darel kepada teman-temannya sembari menyandang tasnya.

“Cie kapten kita udah punya gandengan aja,” sahut Bian, “ciwi-ciwi kelas gue itu memang cantik-cantik,” tambah Bian—teman satu kelas Adhira.

“Gandengan terus, kayak mau nyebrang saja!” nyinyir Geno yang mulutnya langsung ditutup Nita. “Congor gue mancung tar,” sungut Geno, melepas paksa tangan Nita.

“Makanya diam!” hardik Nita. Matanya menatap tajam membuat Geno tidak berkutik.

“Maaf, ya, Adhira,” ucap Jihan, “Lo tetap jadi gabung, kan?” tanyanya, setelah menyadari raut wajah Adhira yang terlihat tidak nyaman.

STAY IN 2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang