08 : Bianglala?

84 16 8
                                    

"Abang, apa adek boleh pergi main? Adek pergi sama Becky... Boleh ya bang, please..." Pinta dia memelas dengan telapak yang menyatu.

"Adek gak lihat kalau diluar hari hujan."

"Tapi di tempat Becky gak hujan bang. Di sini aja hujannya." Dia sudah menghubungi Becky, dan bertanya apa di sana hujan.

Forth meletakkan pulpen mahalnya di meja, memandangi adik bungsunya yang kini masih memelas izinnya.

"Tugas kuliah adek sudah selesai, tugas dari tempat les juga udah. Pekerjaan rumah juga udah adek kerjain. Bang, adek boleh pergi main ya, na..."

Forth menggeleng. "Di rumah aja. Tidur gi kalau gak ada kerjaan." Putus dia sudah bulat.

"Ih, abang jahat." Rutuk Perth kesal lalu keluar dari ruang kerja Forth, dia kini pergi ke ruang kerja Anan. Ini hari minggu, tapi dua orang itu masih saja berkutat dengan pekerjaannya.

"Kakak, apa adek boleh pergi main?" Pinta dia masuk begitu saja ke ruang kerja Anan. Membuat yang punya ruangan jadi kaget.

"Boleh asalkan abang udah kasih izin." Tanggap Anan lantas Perth langsung berguling-guling di lantai.

"Kalian berdua jahat, gak sayang lagi sama adek..." Rengek dia heboh di lantai beralaskan karpet Eropa mahal.

"Di luar lagi hujan dek, nanti kalau udah reda baru boleh pergi main. Sekarang main di rumah aja dulu ya sampai hujan reda." Bujuk Anan pada si bungsu yang kelewat manja.

Perkataan Anan sukses membuat Perth berhenti guling-guling kek bocah tantrum di lantai, dia duduk.

"Janji?"

"Janji." Jawab Anan yang penting saat ini Perth berhenti merengek seperti bocah tantrum.

Bukan Perth namanya jika dia percaya begitu saja mengingat permintaan dia yang satunya lagi belum Anan kabulkan. Permintaan pergi ke kampus dengan sepeda. Bukannya Anan pelit tapi karena jarak kampus dan rumah mereka jauh, pakai mobil aja memakan waktu satu jam apalagi jika dengan sepeda.

"Kakak berani sumpah atas nama Tuhan. Nanti kalau hujannya udah reda, kakak sendiri yang mengantar adek ke manapun adek mau." Ucapnya tuk meyakinkan Perth yang masih terlihat ragu.

Namun di dalam hatinya Anan berharap hujan hari ini awet bahkan sampai pagi. Jujur saja hari ini dia tidak mau kemana-mana, terlebih nomor ponsel War tidak bisa dia hubungi. Dia rindu bercampur keresahan hati, sebab semalam War mengakhiri panggilan itu secara sepihak. Dia hubungi lagi, masuk tapi gak diangkat. Oleh karena itulah di hari libur ini dia menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, berharap dengan begitu rasa rindu dan keresahan itu teralihkan.

"Ya udah kalau begitu. Awas nanti kakak beralasan lagi. Adek sunat." Dia mengalah walaupun berat. Lantas dia kembali ke kamarnya, tiduran sambil baca buku. Namun 30 menit kemudian dia malah tidur pulas.

⏩️⏩️

Klang, Jeff melepaskan rantai yang mengikat War.

"Kenapa papa melepaskan aku? Nanti jika daddy marah gimana? Aku tidak mau daddy memarahi papa. Aku gak apa-apa kok dikurung di sini asalkan papa baik-baik saja."

Manik gelap Jeff tampak berembun. "Cukup. Jangan berkorban lagi untuk keluarga ini. Cukup sudah! Papa udah gak bisa lagi melihat anak-anak papa diperlakukan seperti ini. Andaikan papa tahu kalau akhirnya seperti ini, papa tidak akan bersedia menikah dengan daddymu." Penyesalan itu selalu datang belakangan, dan itu sudah sangat terlambat.

"Tapi pa..."

Jeff menggeleng sambil menggenggam erat tangan putranya pantas dia usap pipi putranya dengan tangan kanannya yang bebas. Dia sangat miris dengan keadaan putranya. Dari kecil putra dan putrinya sudah di tuntut sempurna dalam berbagai hal.

Never Let Me Go!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang