03. Felisya

68 8 1
                                    

Matahari mulai menampakkan dirinya. Burung berkicau bernyanyi menyambut pagi yang cerah.

Udara pagi yang terasa menyejukan di kulit dan terasa segar saat di cium oleh indera pencium.

Membuat siapapun yang merasakannya menjadikan udara pagi adalah hal favorit pertama kali yang harus dilakukan saat terbangun dari tidur nyenyak nya.

Di rumah besar ini, yang hanya di isi oleh beberapa orang saja. Mereka sudah melakukan kegiatan sehari harinya. Yaitu kegiatan sarapan bersama.

Hanya terdengar suara dari hasil gerak alat makan saja. Mereka masih sibuk memfokuskan diri untuk merasakan makanan, dan mengunyahnya.

"Hari ini aku harus ketemu klien. Harus datang pagi pagi."

"Oh iya? Berarti sekarang Naurel berangkatnya sama Belle dong."

Belle tersentak mendengar perkataan ibunya. Ia merasa tidak terima dengan pernyataan itu. Ia menatap wajah ibunya seakan akan minta penjelasan lewat matanya.

"Belle tidak usah mengantar Naurel. Biar saja Naurel berangkat naik transportasi umum. Lagi pun aku sudah memberi dia uang saku lebih." jawab Marco.

Belle menghela nafas lega. Ia merasa menang dari ibu nya itu.

"Memang Naurel merasa baik baik saja naik transportasi umum?" tanya Carista.

Naurel yang merasa dirinya di tanya pun menegakkan tubuhnya. Matanya ia tatap kan kepada sosok ibu tirinya yang duduk di sebelahnya.

"Naurel gapapa kok, naik transportasi umum. Lagian ini udah biasa Naurel lakuin."

Entah kenapa, Marco merasa hatinya teriris mendengar jawaban dari anaknya itu.

Tapi itu tidak berselang lama. Karena sejujurnya, Marco sendiri sudah berubah. Dirinya yang sekarang terlihat tidak mempunyai hati.

Dia mengusapkan tisu ke arah mulutnya, dan kedua tangannya. Kemudian dia bangkit dari duduknya. Menandakan kegiatan makan nya telah selesai.

"Aku berangkat dulu." Marco mencium pucuk kepala istrinya dan memeluknya sebentar.

"Hati hati dijalan sayang."

"Hati hati dijalan pah." ucap kedua anak kembarnya.

Naurel? dia tidak berani untuk mengucapkannya secara langsung. Ia lebih memilih untuk mengucapkannya dalam hati.

"Akhirnya dia berangkat juga." Gumam Carista. Kemudian Carista melirik Naurel. "Apa kamu? Kenapa kamu natap natap saya hah?!"

Naurel segera menunduk. "Ma-maaf bunda.."

"Ck. Mimpi apa saya dapat anak gak berguna kaya kamu. Bisanya ngabisin uang ayah kamu aja. Kalau saya jadi kamu, lebih baik saya pergi dari rumah ini dari pada jadi beban ayah sendiri." lanjut Carista.

Hati Naurel meringis merasa sakit mendengar penuturan ibu tirinya itu. Apa benar dirinya hanya menjadi beban bagi ayahnya?

"Naurel ga berangkat? Ini udah jam 6 lewat 45 menit loh."

Naurel baru ingat bahwa dirinya juga harus berangkat pagi pagi sekali. Karena hari ini adalah jadwal piket nya. Maka ia pun harus berangkat pagi agar tidak telat untuk piket terlebih dahulu.

Terkadang jika ia telat masuk, maka ia juga akan telat untuk melakukan tanggung jawabnya itu. Tidak, bukan telat, melainkan Naurel tidak akan piket. Saat waktu piket telah usai, maka siswa tidak diperbolehkan piket lagi. Hal yang seharusnya dilakukan itu, tidak boleh dilakukan.

Dan siswa yang tidak melaksanakan piket, akan menerima denda sebesar 15.000.

Itu adalah peraturan yang sudah di sepakati satu kelas saat ketua kelas terpilih. Sebenarnya Naurel tidak terlalu setuju dengan peraturannya. Karena, kenapa tidak diperbolehkan piket saat jam piket sudah habis?

The Reason We Meet | Enami AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang