***
Waktu terus bergulir. Malam semakin menunjukkan gulitanya. Syabira yang masih kukuh dengan gengsinya kini terus menguap di ruang tengah sembari menatap layar ponselnya yang menunjukkan video dari sebuah aplikasi yang saat ini di gemari banyak orang-orang dari berbagai kalangan.
Sementara itu, di dalam kamar temaran yang hanya di sinari oleh lampu tidur, ada sosok Kaivan yang sudah pulas di balik selimut tebal yang hangat.
Tapi, ia tentu masih memiliki hati nurani untuk tidak mengunci pintu kamar dan memiliki dugaan kalau-kalau Syabira mungkin saja membutuhkan bantal atau selimut yang tersimpan di salah satu lemari sehingga harus membuat gadis itu masuk ke dalam kamar yang harusnya milik mereka berdua.
"Duh, masa iya sih gue tidur di sofa? Tega banget si boty ngebiarin gue di luar gini" decak Bira seorang diri.
Kantuk yang semakin mendera membuatnya beberapa kali melantur. Ia akhirnya membuang jauh-jauh ego yang sejak tadi tertancap dalam dan mulai bangkit dari tidurnya di atas sofa ruang tengah.
Masa bodo. Menjadi tak tahu diri adalah cara Syabira untuk balas dendam atas pernikahan yang sama sekali tak pernah ia inginkan ini.
Ketika langkahnya telah memasuki kamar yang berhawa sejuk dengan penerangan minim, Bira langsung saja mengumpat dalam hati.
Kurang ajar, bisa-bisanya si banci satu itu tidur nyenyak di kamar yang suasananya sangat nyaman ini.
Gadis bermulut pedas itu terus berjalan dan melihat keadaan kasur yang ternyata tak di kuasai sepenuhnya oleh Kaivan. Pemuda itu nampak tidur di sisi kiri kasur sehingga masih menyisakan banyak ruang untuk ranjang mereka yang king size itu.
Syabira mendengus dan memilih tak perduli. Biar di kasih 1 milyar pun, ia tak akan pernah sudi tidur satu ranjang dengan sosok pemuda yang sudah menyandang jadi suaminya itu.
Matanya kembali memindai ruang, dan ia menemukan sebuah sofa single memanjang di sudut dekat meja kerja yang di penuhi oleh barang-barang Kaivan. Lantas langkahnya langsung ia bawa kesana dan bokongnya mendarat tepat diatas sofa empuk itu.
Oh, ini mungkin lebih baik daripada tidur di ruang tengah bukan?
Tanpa berpikir panjang lagi, Syabira segera membuka satu per satu lemari guna mencari keberadaan selimut yang ia butuhkan, lalu setelahnya ia raih bantal dan guling di sisi ranjang yang kosong.
Tak sampai 10 menit, Syabira sudah terlelap pulas dalam tidur nyenyaknya.
***
Tepat jam 6 pagi, Kaivan terbangun berkat alarm yang selalu ia pasang. Butuh beberapa menit baginya untuk mengembalikan nyawa dan mulai bangkit sembari meregangkan otot-ototnya.
Ponsel yang berada di nakas yang tak jauh dari jangkauannya menjadi hal pertama yang menjadi sorotan Kaivan. Ia mengecek beberapa bubble pesan yang masuk dan reflek tersenyum kala melihat nama yang selalu menyambut paginya dengan ucapan selamat pagi.
Ya siapa lagi kalau bukan Deka.
Kaivan segera membalas pesan itu dan mulai bersiap untuk berangkat ke kantor. Sekarang, satu-satunya tempat di mana ia bisa bertemu dengan Deka hanyalah kantor. Keduanya bekerja di tempat yang sama yakni tempat bimbel bergengsi yang sudah sangat terkenal di ibu kota.
Kaivan memegang jabatan tertinggi disana karna papinya telah memberinya kepercayaan besar untuk mengemban tanggung jawab pada salah satu pusat bimbel terbesar miliknya.
Dan Deka, ia naik jabatan menjadi sekretaris pribadi Kaivan atas titah pemuda itu sendiri. Kalian pasti tahu alasan di balik itu. IYUH kalau kata Bira.
Ketika membuka gorden, Kaivan di kejutkan dengan keberadaan Syabira yang sama sekali tak terganggu dengan sinar mentari yang kini menerangi kamar mereka. Posisi tidurnya masih sama seperti semalam. Satu kakinya bahkan sudah berada di atas lantai dan selimutnya pergi entah kemana.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gay Hubby | JAEMINJEONG
Teen Fiction"Di bilang cantik sama cewek cantik gue udah biasa. Tapi, pernah gak sih lo di bilang cantik sama cowok boty dengan tatapan dominannya?" -Syabira-