Bunga Matahari di Surabaya

79 11 23
                                    


Soerabaja no Himawari // Zonnebloemen te Soerabaja
Bunga Matahari di Soerabaja

Kembang Djepoen, 1910.

source image : Leiden University Digital Collection

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

source image :
Leiden University Digital Collection


Banyak hal yang berubah dari kota Soerabaja di awal tahun ini. Kota yang terlihat lebih tertata, rapi, bersih, belum lagi dijadikan sebagai pusat kawasan perekonomian yang menjanjikan. Beberapa bangunan kantoor¹, bank, dan pertokoan berdiri kokoh mengisi kawasan yang telah diramaikan dengan banyaknya andong dan mobil kreta yang berlalu lalang.


Beberapa ratus meter tak jauh dari kawasan pusat, terdapat sebuah kehidupan yang menjadi jantung bagi para pengembara atas kemiskinan yang dialami di negaranya sendiri. Panggil saja, rumah plesir, rumah candu, suhian, atau yang lebih akrab terdengar ditelinga yaitu— rumah bordil.

Para wanita yang berasal dari negeri seberang itu bermigrasi dari Bandjarmasin menuju Soerabaja, mereka jelas mengetahui apa yang akan dilakukan disana— namun siapa sangka pekerjaan yang semula dijanjikan hanya untuk menjamu para peminum di kedai kopi tersebut berputar seratus delapan puluh derajat.

Manusia akan selalu mengambil kesempatan ketika peluang datang, demi mendorong ekspansi ekonomi perdagangan negaranya sendiri— di Kembang Djepoen, mereka menjalankan kegiatan yang berkaitan dengan lokalisasi². Disamping membuka toko kelontong, menyediakan masakan khas Jepang, membuka salon dan berdagang ikat pinggang maupun kimono. Karayuki-san³— mereka menyebutnya begitu.


Aku mau gadis itu,” ucap seorang pria Eropa sambil menunjuk pada seorang gadis yang tengah berbincang bersama Nyonya Nakamoto. Tuan Nakamoto selaku pengelola rumah ini langsung tersenyum.

“Dia tidak ada dalam daftar,” pria Eropa itu tersenyum sinis— meremehkan.

“Tapi dia berbeda,” ucapnya.


“Oleh sebab itu aku tidak memasukkannya kedalam daftar penunggu kamar, Tuan.”


“Bersenang-senang dengan yang lain atau pergi dari sini,” ucap Tuan Nakamoto dengan datar. Lantas pria kulit putih itu menghela nafasnya, lalu memberikan beberapa koin sebagai pembuka pintu masuk sebelum ia mendekati sebuah ruangan yang tak jauh dari bilik kamar untuk memilih gadis yang akan menemaninya malam ini.

Tuan Nakamoto menarik nafasnya dengan berat, entah sudah keberapa ratus kali pria kulit putih meminta gadis yang kini tengah disuruh istrinya untuk keluar itu agar bisa masuk kedalam bilik-bilik kamar yang tersedia di rumah yang ia kelola.


Berbeda. Hal itu yang telah bosan Tuan Nakamoto dengar atas persepsi para tamu yang datang ketika melihat gadis yang tengah mengamankan dompet kecil disisi pinggangnya pada daun pintu.

Himawari; Myoui MinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang