Putri yang Baru

35 10 17
                                    


Rasa khawatir buktinya masih belum pergi dari hati Nyonya Nakamoto. Ia amat sangat tahu dengan jelas bahwa pemuda itu berasal dari keluarga bangsawan di Kabupaten B. Ayahnya seorang Bupati yang tentu saja mereka semua menginginkan anaknya untuk menikah dengan gadis yang setara.

Diksa adalah putra ketiga dari enam putra yang dilahirkan, ia berani untuk bertindak dan menentang ayahnya karena tahu bahwa beban dan harapan kedua orang tua tidak ada pada dirinya sebagai anak tengah. Harapan Ayah bertumpu pada Kakak sulungnya, dan harapan Ibu berada pada Adik bungsunya.

Diksa hanya memperoleh keberuntungan dari keluarga ini karena dapat mengenyam pendidikan yang sulit didapatkan pada saat itu. Ia sangat beruntung dapat bersekolah di HBS dan OSVIA— sekolah yang sulit untuk didapatkan orang pribumi pada masanya. 


Semuanya diatur sedemikian rupa. Diksa diam-diam menyambangi Kota S untuk bertemu dengan keluarga saudagar fabriek gula yang sedang diambang kehancuran.

Terlebih, desas desus menyebutkan mereka memiliki seorang putri yang disembunyikan— padahal, di usia lima belas tahun, putri mereka sudah meninggal dunia dan dimakamkan diam-diam.

Dengan penuh kepercayaan diri, ia menyampaikan maksud dan tujuannya. Dan entah keberuntungan apalagi yang ia miliki, atau memang pada dasarnya sifat manusia yang tengah berada dalam kesulitan—saudagar dan istrinya itu menyetujui dengan mudahnya. 


“Aku sudah menghubungi beberapa kenalanku dan bersedia untuk membantumu menghidupkan kembali bisnis gula yang kau miliki saat ini,” 


“Kau bisa menerima tebu terbaik dari Batavia atas permintaanku, sehingga dapat kembali diminati dan bersaing lagi.”


“Asalkan, kau mau  melakukan satu hal untukku.” 


“Dan ini sebagai pengantarnya—untuk menebus mesin-mesin yang kau gadaikan kemarin demi menyambung kehidupanmu. Dan.. sebagai biaya tambahan untuk mengurus gadisku selama enam bulan disini.” ucap Diksa sambil mengantarkan dua buah peti emas, sekotak besar perhiasan dari Eropa, dan peti gulden yang ia siapkan segalanya selama satu minggu di rumah Tuan Nakamoto.


“Baik, kapan kita bisa bertemu dengan gadis itu?” Diksa tersenyum. 


“Sebentar,” Diksa berdiri dan segera berjalan keluar, ia pun membuka pintu keretanya dan  tersenyum— tak bisa rasanya harus menahan rasa takjub atas ciptaan Tuhan yang paling indah dihadapannya.


“Masih pusing?” tanya Diksa, gadis dihadapannya itu menggelengkan kepalanya.


“Ada yang ingin bertemu denganmu,” sambung Diksa, Mina yang sudah tahu bahwa itu merupakan sinyal positif karena diterima di keluarga barunya itu hanya bisa tersenyum dengan lega, sekaligus bangga pada lelaki dihadapannya. 


Lantas ia memberikan telapak tangannya ketika Diksa mengulurkan telapak tangannya untuk membantu Mina keluar dari kereta. Oetari yang ada tak jauh dari mereka dengan sigap membetulkan kain jarik yang Mina kenakan sebagai bawahannya. 

Mina dan Diksa berjalan berdampingan kedalam, dengan Oetari dan Yatma yang duduk dan menunggunya di teras luar. 


Takdir yang baik, dan takdir yang merestui mereka bersatu— atau memang dunia yang sedang berpihak pada keinginan Diksa untuk bersatu dengan gadis yang ia cintai— ketika Mina datang, Nyonya berlari dan memeluknya. Menggumamkan beberapa kata yang terdengar menyedihkan namun merasa tenang saat separuh jiwanya telah kembali untuk saat ini.


Putriku telah kembali. Ia telah kembali.” gumamnya berkali-kali, hal yang sama digumamkan Tuan dari dalam hatinya. Pasalnya, gadis yang dibawa oleh Diksa amat sangat mirip dengan putrinya.

Diksa bernafas lega, tidak sia-sia ia membawa Mina kemari, sejak sebelum hari ini terjadi— Diksa sempat khawatir dan takut apabila Tuan dan Nyonya saudagar ini tidak mau merawat Mina untuknya. 

Tapi, lihatlah pelukan erat itu— beberapa kali bahkan Nyonya mengusap dan menciumi Mina dengan lembut dan penuh kasih sayang. 


**

Malam hari hujan dan Diksa terpaksa menginap di kediaman Tuan dan Nyonya hari ini. Selepas makan malam dengan sayur hangat dan lauk daging serta beberapa asupan protein, Diksa dan Mina duduk di kursi ruang tamu dengan berdampingan.

Sejenak Mina menatap keluar, Tuan dan Nyonya Nakamoto mungkin sudah diperjalanan untuk pulang ke Fukuoka, aset-aset properti Tuan Nakamoto di Kembang Djepoen juga sudah terjual dan hendak dijadikan Toko oleh beberapa penghuni baru.

Ada rasa berat ketika meninggalkan Soerabaja, tapi Mina menyadari bahwa kehidupan tetap berjalan dan ia akan selalu ada didalamnya entah seorang diri ataupun bersama orang baru, yang kini sedang menggenggam tangannya— bermaksud meminta ijin. 


“Mina mau ikut denganku setelah menikah nanti?” Mina menatap pria itu dan mengangguk perlahan-lahan. 


“Kemanapun Mas Diksa pergi,” tutur Mina dengan suara pelannya. Diksa tersenyum dan mengusap pipi Mina.


“Tapi—” Diksa mengangkat alisnya, bertanya. 


“Kemana kita akan pergi nanti?” tanya Mina, Diksa segera menghela nafasnya.


Buitenzorg, enam puluh kilometer dari Batavia apabila ditempuh dengan jalur kereta api.”


“Aku dihubungi oleh seorang pengurus di OSVIA, lalu mereka telah merekomendasikanku untuk menjadi asisten residen di Buitenzorg.” Hati Mina menghangat mendengarnya, ia bangga sekaligus takjub pada kecerdasan yang dimiliki Diksa.


“Meskipun masih digunakan untuk kepentingan para orang-orang elit kulit putih, tapi—aku janji akan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk kita nanti.” ujar Diksa, Mina segera mengusap punggung tangan Diksa dengan usapan lembut.


“Lakukan saja, Mas. Aku akan selalu ikut dengan Mas,” kini giliran Diksa yang merasa tenang setelah mendengar dari Mina. Ia lalu menggenggam balik tangan gadis disampingnya. 


“Tinggal satu langkah untuk meyakinkan orang tuaku, masih mau bersabar lagi, kan?” Mina lalu mengambil tangan Diksa yang mengusap pipinya, ia genggam dengan erat tangan besar dan kokoh tersebut. 


“Tidak ada alasan untuk tidak menunggu Mas Diksa dengan sabar. Banyak hal yang Mas Diksa pertaruhkan untuk bersamaku.”


“Dan maaf, Mas— aku tidak punya apapun untuk diberikan kepada Mas Diksa sebagai imbalan dari rasa terima kasih yang tidak berujung.” Diksa mendekat pada Mina, genggaman tangan mereka semakin erat dikala hujan semakin deras— hangat

“Kehadiranmu sudah membayar itu semua, jadi— tetaplah berada dalam pandanganku, ya? Dekat dengan mata dan dekapanku, lalu tidak pernah jauh dari sini.” ujar Diksa sambil meletakkan telapak tangan Mina di dadanya—tepat diatas degup jantungnya yang berdetak semakin keras apalagi saat Mina mengusap dadanya dengan perlahan. 


“Akan dan selalu, Mas.” jawab Mina sambil mengembangkan kembali senyuman terbaiknya, Diksa tidak tahan untuk tidak memeluk tubuh ramping gadis disampingnya. 


Hendak memeluk lebih erat, namun suara Tuan saudagar menyadarkan mereka— bagai kekasih seorang anak yang tengah diawasi oleh orang tuanya, Diksa segera bangkit berdiri. 


“Mau sampai kapan kalian duduk disitu dan membuat langit yang menangis itu cemburu?” ujar Tuan saudagar yang membuat Mina segera berlalu untuk masuk kedalam kamarnya, dimana sang Ibu tengah menunggu untuk tidur bersama putri kesayangan mereka. 


Dan disini, di Kota S semuanya bermula. Perjalanan baru dari bunga matahari untuk bertahan bersama tanah tempatnya untuk tumbuh itu dimulai. 


Atau ketika, Mina dan Oetari pulang dari fabriek selepas mengantarkan makan siang untuk Bapak— 


“Saya Wirya, dengan Nona siapa?” 

Mina,” 

**
to be continued
**

Himawari; Myoui MinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang