Bertemu Diksa

37 7 17
                                    

R D

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

R D.  M A S   A D H Y A K S A   B O E M I R A D J A

Lelaki itu tengah bersimpuh dihadapan Romo dan Ibu. Menahan sakit atas pukulan Romo melalui pecut kuda pada punggung dan tubuhnya. Ibu diam melihat semua ini karena kesal atas apa yang baru saja Diksa sampaikan.

“Mau ditaruh dimana wajah kami dihadapan Ayah Nimas?!” ucap Ibu, Diksa terdiam, ia menunduk tidak menjawab, menahan panas yang menjalar akibat pukulan Ayahnya sendiri.

“Belajar dan pintar bukan untuk menjadi kurang ajar, disekolahkan dan diberikan pendidikan bukan untuk menjadi bajingan cilik yang bertingkah semaunya.” Ibu masih terus berbicara, Diksa segera menatap sang Ibu.

“Belajar dan pintar itu harus karena telah diberikan pendidikan dengan cara bersekolah. Memiliki jalan sendiri untuk menjalani hidup juga bukan seorang bajingan, Ibu.”

Tidak tahan mendengarnya, Ibu segera mengambil pecut yang ada diatas meja— hendak memukul Diksa, namun tangan Romo menahannya.

“Sudah, wes cukup. Aku yang berhak memukulnya.” ucap Romo sambil mengambil pecut ditangan Ibu dan meletakkannya kembali keatas meja.

“Kau merasa lebih pintar dan hebat dari para Mas dan adik-adikmu hanya karena sering bergaul dengan para Londo, ditambah memilih gadis yang tidak ku ketahui asal usulnya—”

Namina Aroemaisa, Ibu. Ia putri dari seorang wedono di Kota S— punya asal usul yang jelas, seorang gadis pintar, cantik, dan baik hati yang kulo temui berkali-kali saat bersekolah di OSVIA.”

Ibu membuang nafasnya kasar sambil berteriak kesal, bagaimana bisa ia melahirkan seorang pembangkang seperti Diksa yang berbeda jauh dari saudara-saudaranya.

Kulo sudah cukup menuruti Romo dan Ibu selama ini, dibesarkan dengan cara dibedakan dengan para Mas dan Rayi-Rayi— kulo nrimo, biarkan kali ini kebebasan itu kulo dapatkan lagi dalam memilih pendamping hidup saat ini.” ucap Diksa sambil meraih kedua kaki Ibu dan Ayahnya, menciumnya secara bergantian— bersujud pada kedua orang tuanya.

Pikirannya berputar kepada masa lalu, disaat seluruh kakak-kakak dan adik-adiknya mendapatkan kasih sayang yang cukup dari Romo dan Ibunya, Diksa harus menghabiskan waktu bersama pengasuhnya.

Katakanlah Diksa hanya mengambil keuntungan dari posisi ayahnya sebagai seorang Bupati, ia dapat sekolah dan memiliki pendidikan yang cukup, juga bisa dibilang lebih unggul daripada saudara-saudaranya yang lain di bidang akademis maupun pemerintahan.

Romo segera meraih bahu Diksa, menegakkan putra ketiganya itu lalu mencengkram pipi Diksa dengan cukup keras dan langsung menepuk-nepuk bahu Diksa dengan kuat.

Himawari; Myoui MinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang