Pukul delapan pagi.
Mina sudah selesai mandi dan berpakaian rapi. Oetari yang membantu Mina menyingkirkan dua irisan mentimun dibawah mata milik Mina— lelah akibat semalam, menyebabkan ia hanya tertidur selama beberapa jam saja.
Setelah mengikat rambut dan menggulungnya, Mina masuk kedalam kamarnya— dimana sang suami masih tertidur pulas, ia tersenyum lalu membuka tirai dan jendela.
Duduk di tepian ranjang besi diatas kasur kapuk tempat keduanya memadu kasih semalaman, telapak tangan Mina dengan lembut mengusap wajah Diksa, hangat sekali.
“Kangmas..” panggil Mina lembut, ia tersenyum saat si pendengar meraih tangannya dan menggenggamnya dengan erat.
“Matahari sudah naik dan Kangmas harus mandi.” lanjut Mina sambil mengusap bahu suaminya, Diksa perlahan membuka mata— ia tersenyum melihat sang istri dihadapannya— pertama kali dalam hidupnya, terbangun dari tidur namun bagai disambut seorang bidadari.
“Mau sampai kapan memandangku terus, hm?” Diksa terkekeh pelan, ia lalu bangkit dari tidurnya untuk duduk dan Mina dengan peka segera mengambil segelas air putih yang ada diatas meja kecil disamping ranjang mereka, memberikannya pada Diksa.
“Sampai aku bosan,” ucap Diksa, membuat Mina tertawa sambil merapikan rambut suaminya.
“Tapi, dalam kamusku— memandang Dek Ayu tidak akan pernah bosan.” sambung Diksa yang membuat Mina menunduk malu, panggilan baru dari suaminya membuat hatinya berbunga-bunga.
“Satu kecupan, satu gerakan untuk bangun.” Mina tertawa mendengar ucapan suaminya, tanpa pikir panjang ia segera mengecup pipi kanan dan kiri Diksa, berakhir pada kecupan di bibir suaminya sebanyak dua kali.
“Sudah cukup untuk berdiri dan melangkah ke kamar mandi, kan?” canda Mina yang membuat Diksa segera berdiri lalu memeluk Mina— keduanya berpelukan dengan erat, dengan mata saling terpejam— hangat matahari seolah cemburu untuk memasuki ruangan kamar mereka yang terbuka dari jendela.
Setelah Diksa ke kamar mandi, barulah Mina kembali ke kamar tidur untuk melepas kain sprei yang kacau dan kusut, ia sedikit menghela nafas.
**
Sepulang dari pasar, Ibunda Diksa memutuskan untuk mampir ke rumah anak dan menantunya, turun dari kereta kuda— ia sedikit melirik kesamping dimana Oetari sedang menggosok dan menjemur dua bidang kasur kapuk dibawah matahari.
Mengetahui arti dan maksudnya— nafasnya dihembuskan dengan kasar dan lehernya seolah tercekat untuk berkata. Namun, ia tetap melangkahkan kaki ke dalam rumah Mina, duduk di teras dan menyuruh bedinde¹ untuk memberitahu sang pemilik rumah.
“Ibu,” ujar Mina dari daun pintu, yang dipanggil hanya melirik dengan ujung mata sambil membuang muka.
Mina menghela nafasnya, lalu kemudian menarik kursi untuk duduk dihadapan sang mertua.
“Mana putraku?” Mina tersenyum,
“Sedang mengunjungi rumah Tuan Ghilbert, Ibu.”
“Andai Mas Diksa ada disini, ia pasti senang sekali mendengar Ibu memanggilnya dengan sebutan itu,” tutur Mina sambil tersenyum manis namun membuat nafas Ibu Diksa tidak terkendali karena rasa amarah.
“Benar-benar kurang ajar!” ucap Ibu Diksa sambil menghentak meja dihadapannya dengan telapak tangan, tidak ada ekspresi terkejut atau merasa bersalah, Mina lalu menggenggam tangan Ibu mertuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Himawari; Myoui Mina
FanfictionBerlatar tahun 1910, mari ikuti kisah perjalanan bunga matahari yang setia, bernama Myoi Mina. Mengubah nama menjadi Namina Aroemaisa- ketika diangkat menjadi putri seorang pemilik suikerfabriek (pabrik gula) sekaligus keturunan bangsawan di Kota S...