0.6

29.4K 470 18
                                    

.
.
"Berdirilah disana," katanya, menunjuk ke seberang kasurnya.

Merasa bingung bercampur lega, aku menjauhkan diriku dari kasur dan berdiri di tempat yang ditunjuknya.

Setidaknya sekarang aku jauh darinya.

"Now, strip."

Mataku melotot. Apa?

"Kubilang, lepaskan gaunmu, Lauren."

"Tapi-"

"Tidak ada alasan. Atau kau mau aku yang membukanya untukmu?" Michael tersenyum nakal, membuatku kembali merasa terancam.

Sial. Aku baru ingat aku memakai pakaian dalam yang diberikan Kylie tadi! Bagaimana jika dia mengira aku sengaja?

"1, 2, 3. Oke, perjanjian batal. Aku tidak akan melanjutkan bisnis ayahku." Katanya, bangkit berdiri dari kasur dan melangkah menuju pintu.

"Tunggu! Jangan. Oke, aku akan menurutimu. Tapi... jangan berpikir yang aneh-aneh, ya?" Kataku, tidak berani menatapnya kembali.

Aku bisa merasakan Michael yang kini tersenyum puas, berhasil membuatku terpojok tanpa pilihan lain.

Dasar menyebalkan. Aku akan mengomeli Kylie begitu aku keluar dari rumah ini.

"Laur,"

Aku tersadar, lalu berdeham canggung. Dengan pelan tapi pasti, aku membuka resleting gaunku, menurunkan tali gaun yang menggantung di kedua bahuku, dan melepaskan gaun yang kini sangat kubutuhkan.

Dan kini, aku hanya tersisa dengan balutan pakaian dalam di hadapannya. Bra hitam berenda dengan G-string yang juga berwarna hitam.

Aku melirik Michael, dan mendapatinya yang tengah meneliti tubuhku. Ia meneguk ludahnya, dan secara tidak sengaja, aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya kulihat.

Sesuatu yang mencoba menembus keluar dari risletingnya.

Kurasakan wajahku yang mulai memerah. Sial, apa yang harus kulakukan sekarang? Harga diriku sudah dirampas olehnya. Seharusnya apa yang kulakukan sekarang hanya akan kuperlihatkan kepada seseorang yang akan menjadi calon suamiku, bukan orang lain.

"God dammit, Lauren." Michael kini melangkahkan kakinya ke arahku, lalu menciumku kembali. Jari-jari tangannya perlahan turun ke perutku, kemudian menjurus ke punggung bawahku, dan..

Suara ketukan di jendela menyadarkanku. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, mencoba memproses keberadaanku sekarang. Kenapa aku disini?

"I'm sorry, Laur. Wait here," Michael keluar dari mobil, lalu memarahi security guard yang baru saja mengetuk kaca jendelaku.

Wajahku terasa hangat begitu menyadari apa yang terjadi.

Sial. Ternyata yang tadi itu mimpi. Apa maksudnya?

Aku masih berada di dalam mobil, dan ternyata, aku tertidur barusan. Tapi kenapa aku bermimpi hal yang begitu.. erotik? Ugh. Aku benar-benar malu.

Setelah beberapa menit berlalu, Michael masuk kembali ke dalam mobil, lalu menyentuh bahuku. "You okay?"

Aku sontak menjerit, rasanya ada arus listrik yang mengalir begitu jari-jarinya menyentuh bahuku yang terbuka. "Maaf. Aku..-um, kenapa kita tidak masuk ke dalam? Pasti ayahmu menunggu,"

Michael menatapku bingung, tapi kemudian memutuskan untuk mengabaikan reaksiku. "Aku tidak begitu ingin bertemu dengan ayahku malam ini. Dan kau juga tertidur sangat pulas, jadi aku tidak ingin mengganggumu."

Aku menoleh ke arahnya, dan ingatan tentang mimpiku barusan muncul kembali. Kurasakan kedua pipiku kembali terasa hangat, yang langsung dihadiahi Michael dengan sebuah senyum miring.

Ugh.

"Why are you blushing?" Michael mendekatkan wajahnya, membuatku langsung memalingkan wajah ke jendela. "I'm not."

"Yes. Yes you are," Michael meraih daguku, membuatku kembali menoleh ke arahnya. Mata kami bertemu, dan aku bisa merasakan nafas Michael yang stabil berhembus ke leherku. Bibirnya yang merah dan tebal masih membentuk senyuman miring khasnya, dan tiba-tiba saja, aku menemukan jari-jari lentikku sudah berada diatas bibirnya. Michael menggigit jariku pelan, sementara tangannya meraih leherku. "Oh, Lauren. What you do to me," bisiknya pelan, dan beberapa detik setelahnya, his lips are on mine.

Ciumannya begitu lembut dan berarti, seolah-olah aku begitu rapuh dan akan hancur jika ia melakukan kesalahan sekecil apapun. Jari-jari tangannya mulai menggerayangi tubuhku, menyentuh setiap weak spot yang ada hingga sebuah desahan keluar dari bibirku yang kini agak membengkak akibat ciumannya.

Aku merapatkan kakiku untuk mengurangi rasa berdenyut dibawah sana, tapi hasilnya nol. Kurasa ini juga merupakan efek dari mimpiku yang gila. Michael yang menyadari perbuatanku kembali tersenyum miring, kemudian jari-jarinya mulai meraba pahaku dengan nakal. Begitu ia menyentuh organ sensitifku, nafasku tertahan. Aku menggigit bibir bawahku begitu jarinya mulai beraksi.

"You're so wet, Laur," bisiknya, kini bibirnya beralih ke daerah leherku. Aku mendesah kembali begitu kurasakan sensasi hangat bercampur geli menjalar di dalam tubuhku. Aku tidak mengerti. Seolah-olah kewarasanku hilang begitu ia menyentuhku. Aku ingin menolak, tapi hatiku berkata lain. Aku benci kenyataan bahwa aku menikmatinya. Aku menikmati setiap gerakan yang ia lakukan dibawah sana, berinteraksi dengan bagian tubuhku yang paling sensitif. Aku telah hilang kontrol terhadap tubuhku sendiri.

"I love how responsive you are with my touch," bisiknya lagi, "but we need to stop now. Lesson for today is over." Begitu ia melepaskan sentuhannya, semua kewarasanku kembali merasuki. Aku menggigit bibir bawahku, tidak memiliki keberanian untuk menatap Michael bahkan untuk sepersekian detik. Aku terlalu malu. Apa-apaan aku ini? Sejak kapan tubuhku bisa bereaksi seperti barusan?

"Ayo masuk. Kita sudah terlambat 40 menit dari waktu yang ditentukan," katanya, tersenyum menyeringai.

Aku tidak pernah merasa semalu ini seumur hidupku.

The Bad Boy's Good GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang