01: back home

60 9 0
                                    

"Paris emang indah, tapi masa kamu nggak kangen sama tanah kelahiran kamu ini? Pulang, Dek! Kita obatin kaki kamu bareng-bareng di sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Paris emang indah, tapi masa kamu nggak kangen sama tanah kelahiran kamu ini? Pulang, Dek! Kita obatin kaki kamu bareng-bareng di sini. Kamu boleh ngapain aja, termasuk kalau emang masih mau balet lagi, tapi pulang dulu ya? Papi Mami kangen banget sama kamu, mana kamu suka ngajak berantem mulu kalau di telefon. Pamit sama Opa Oma baik-baik, Abang beliin tiket, nanti Senin Abang jemput di Bandara"

Kalimat panjang itulah yang membuat kaki Valdya menapaki tanah kelahirannya sekarang. Suasananya benar-benar asing, bahkan hawa udaranya juga berbeda, hidung Valdya sampai berkontraksi dengan bersin beberapa kali sebagai bentuk penyesuaian.

Setidaknya sudah 15 tahun Valdya tak menapakkan kaki di sana, memilih tinggal dan menetap di Paris sejak balita karena ketertarikannya pada balet. Tapi sekarang, Valdya memilih pulang, memang mungkin lebih baik berpindah tempat dibanding terus-terusan menyalahkan kenyataan yang mengatakan bahwa mimpinya harus berhenti di sini.

Cedera berat yang menimpa kakinya tak bisa ditolong, mungkin bisa, tapi butuh waktu tidak sebentar. Valdya tidak yakin popularitas dan postur tubuhnya akan tetap sama saat nanti dia sudah sembuh. Baiklah, gadis 19 tahun itu memilih berpikir dewasa, mungkin memang ini saatnya hidup normal sebagai gadis muda pada umumnya.

"Bang Dion!" seru Valdya sambil melambaikan tangannya

Laki-laki yang dipanggilnya menoleh, lantas tersenyum dan seketika Valdya membawa kopernya untuk berlari ke sana. Tangan Dion terbuka sepenuhnya, siap menerima tubuh sang adik dan memeluknya begitu erat. Rindu sekali dia, terakhir bertemu itu setahun lalu saat Dion berkunjung ke Paris, itupun hanya seminggu waktu Dion di sana.

"You're doing good, right?" tanya Dion sambil mendekap tubuh Valdya yang lebih pendek darinya

"Of course, Abang. Papi Mami mana?" sahut Valdya

Dion melepaskan pelukannya secara sepihak, membuat Valdya juga akhirnya melepaskan. "Papi Mami belum tahu kamu pulang, sengaja Abang rahasiain. Tapi mereka udah di resto, Abang sengaja buat acara dinner sekalian surprisein mereka"

"Really? OMG! Tapi..." sahut Valdya merengut

Dion mengernyit, "Tapi apa?"

"Papi Mami masih marah sama aku, kan? Aku juga masih nggak mau kalau harus berhenti dari balet" sahut Valdya ragu

Dion menghela nafas pelan sambil mengacak puncak kepala Valdya, "Masih aja keras kepala ini anak. Katanya mau realistis? Gimana sih?"

"But it is not easy, right?"

"I know, tapi ya udahlah, kita ke Papi Mami dulu. Ngomong sama kamu itu harus pakai bahasa bayi. Buruan masuk!"

Valdya melangkah patuh dan membuka pintu mobil milik sang kakak, sedangkan Dion membawa koper Valdya ke bagian belakang mobil untuk dia letakkan di bagasi.

Senin sore itu Jakarta diguyur hujan, membuat suasana sekitar terasa sejuk dan gelap. Jalanan juga macet di mana-mana. Perpaduan hujan lebat, Hari Senin, dan sore hari ini memang pas sekali untuk mendefinisikan kondisi lalu lintas ibu kota.

Little LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang