Setelah seminggu tidak bertemu, adakah yang merasa rindu?
Nggak ada?
Ya udahHappy reading
*
*
*
"Lo tau di mana Calle 'kan?"Jean menatap Dian datar sambil melepaskan cengkeraman pada tangannya. Ia kemudian berbalik menghadap pintu ruang pribadinya.
"Aku tidak tahu apa yang kau maksud," jawab Jean cuek. Ia meraih handle pintu hendak memasuki ruangan.
Dian kembali menarik tangan Jean membuat remaja itu melepaskan pegangannya pada handle pintu. Jean menepis tangan Dian kemudian melayangkan tatapan tajamnya. Dian pun membalas tatapan itu dengan sedikit pancaran emosi di matanya.
"Lo bohong 'kan?! Lo pasti tau di mana Calle!" seru Dian emosi.
"Sudah kubilang aku tidak mengerti maksudmu," bantah Jean, kembali berbalik membelakangi Dian.
"Anak yang lo bayarin ruang inapnya." Jean menghentikan langkahnya saat suara Dian kembali terdengar.
"Perawat bilang lo yang bayar ruang inap buat korban kecelakaan beberapa hari yang lalu. Pasti lo tau di mana dia sekarang 'kan?" lanjut Dian, kali ini dengan suara yang terdengar bergetar.
"Memang." Jean sedikit menoleh ke belakang. "Aku yang membayar ruang inapnya, tapi aku tak tahu di mana bocah itu sekarang."
"Lo-lo serius?" tanya Dian dengan terbata.
Jean menghela nafas kemudian berbalik ke arah Dian. "Apa keuntungan bagiku jika berbohong? Aku hanya memenuhi tanggung jawab karena telah menyerempetnya. Selebihnya aku tidak berwenang apapun. Mungkin dia sudah dijemput keluarganya."
Dian terdiam mendengar pernyataan Jean. Padahal ia sudah berharap bisa menemukan tanda-tanda keberadaan Calle setelah bertanya pada si ketua OSIS ini, tapi ternyata hasilnya tetap nihil. Para perawat itu hanya memberikan informasi soal Jean yang sempat membayarkan ruang inap untuk Calle. Selebihnya mereka mengatakan itu merupakan privasi rumah sakit, jadi mereka tidak bisa mengakses info lebih lanjut mengenai Calle.
Melihat Dian terdiam, Jean segera kembali ke tujuan awalnya, yaitu bergabung bersama Jemmy. Tersadar dari rasa gundahnya, Dian pun memilih keluar dari ruang OSIS dengan perasaan kecewa. Ia harus menemui sahabatnya.
"Jean, kau lama sekali. Baby sudah menunggumu sedari tadi," omel Jemmy begitu melihat kembarannya datang. Jean tersenyum tipis kemudian mengambil tempat di samping Jemmy. Keduanya menghadap sebuah ponsel dengan layar yang dipenuhi wajah bulat si kecil.
"Hai, Baby," sapa Jean pada Calle.
"Halo Uncle Jean!" Wajah Jean mendatar begitu mendapat balasan dari Hans dan juga Rain. Entah kenapa ia merasa dua keponakannya itu suka sekali merecoki dirinya.
"Aku menyapa baby, bukan kalian .... Babi," ucap Jean sinis.
"Astaga uncle, bahasamu. Untung aku sudah menutup telinga Calle. Kalau tidak, bersiaplah kau kena hukuman Uncle Math!" seru Hans dramatis. Jean mengangkat bahunya acuh.
"Baby, kau ingin sesuatu? Bagaimana dengan krayon untuk mewarnai gambar itu?" tawar Jemmy pada Calle.
"Tidak perlu, Uncle. Kata Papa, Om Rion sedang membelinya," tolak Calle.
Jemmy hanya mengangguk mengerti. Baru beberapa saat mereka berbincang, Calle tiba-tiba meminta izin mematikan panggilan karena Rion sudah datang. Ia akan mewarnai gambar dari Rain bersama Jerry. Hal itu membuat si kembar J sedikit pundung, terutama Jemmy. Ia terus menggerutu karena tak bisa menghabiskan waktu bersama keponakan kecilnya dan membiarkan para keponakan setannya memonopoli Calle.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calle (Ganendra's Precious Boy)
BeletrieHanya tentang Calle, si mungil pencinta susu pisang dan si bucin lumba-lumba.... Not BxB Story only in wattpad