Bab 12. Permasalahan

3 2 0
                                    


Malam itu, Raina duduk di depan jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Hatinya penuh dengan kebingungan dan kekhawatiran. Sejak beberapa hari terakhir, dia merasa ada yang berbeda dari Kaivan. Mereka masih bertukar melodi dan puisi, tetapi ada jarak yang tidak bisa diabaikan. Kaivan mulai menarik diri, dan Raina merasa semakin sulit untuk memahami perasaannya.

Raina meraih buku catatannya dan mulai menulis, berharap bisa menyalurkan perasaannya yang bercampur aduk. Namun, setiap kata yang dia tulis terasa hampa dan tidak berarti. Dia merasakan frustrasi yang semakin besar, tidak tahu bagaimana caranya mendekati Kaivan yang mulai menjauh.

Di apartemen sebelah, Kaivan duduk di depan piano. Jemarinya bermain di atas tuts, menciptakan melodi yang penuh dengan kesedihan dan keraguan. Dia menyadari bahwa dirinya mulai menarik diri dari Raina, tetapi dia merasa tidak bisa menghindarinya. Trauma masa lalu masih membayanginya, membuatnya sulit untuk membuka diri sepenuhnya.

Kaivan tahu bahwa dia harus berbicara dengan Raina, tetapi ketakutannya terhadap penolakan dan kegagalan membuatnya ragu. Dia tidak ingin menyakiti Raina, tetapi dia juga tidak tahu bagaimana caranya menghadapi perasaannya sendiri. Melodi yang dia mainkan berubah menjadi nada-nada yang kacau, mencerminkan kekacauan dalam hatinya.

Pagi berikutnya, Raina menemukan sebuah pesan dari Kaivan di jendela:

"Raina, 

Maafkan aku jika aku terlihat menjauh. Ada banyak hal yang sedang kupikirkan, dan aku merasa sulit untuk mengungkapkannya. Beri aku sedikit waktu, aku harap kamu bisa mengerti. 

- Kaivan"

Raina membaca pesan itu dengan hati yang berat. Dia bisa merasakan rasa sakit dan keraguan dalam setiap kata. Meskipun dia ingin mendukung Kaivan, dia merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Raina memutuskan untuk menulis balasan:

"Kaivan, 

Aku mengerti bahwa kamu sedang menghadapi banyak hal. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku di sini untukmu, kapan pun kamu siap untuk berbicara. Aku peduli padamu dan ingin membantu, tetapi aku juga menghormati ruang yang kamu butuhkan. 

Raina"

Hari-hari berlalu, dan ketegangan antara mereka semakin terasa. Meskipun mereka masih bertukar pesan dan melodi, ada jarak emosional yang terus tumbuh. Raina merasa semakin tidak berdaya, tidak tahu bagaimana caranya membantu Kaivan. Dia mencoba untuk fokus pada novelnya, tetapi kebuntuan kreatif kembali menghantuinya. Inspirasi yang dulu dia dapatkan dari melodi Kaivan kini terasa jauh.

Kaivan, di sisi lain, merasa terjebak dalam dilema emosional. Dia ingin mendekati Raina, tetapi ketakutannya terus menghantui. Dia merasa tidak layak untuk dicintai, membawa beban masa lalu yang terus membayangi. Setiap kali dia mencoba untuk menulis lirik baru atau menciptakan melodi, rasa bersalah dan keraguan mengambil alih.

Suatu malam, Raina memutuskan untuk mengunjungi Kaivan. Dia merasa bahwa mereka perlu berbicara langsung, mencoba menyelesaikan ketegangan yang ada. Dengan hati-hati, dia mengetuk pintu apartemen Kaivan. Pintu terbuka, dan Kaivan menatapnya dengan mata yang penuh kelelahan.

"Kaivan, kita perlu bicara," kata Raina dengan suara lembut namun tegas.

Kaivan mengangguk, mempersilakan Raina masuk. Mereka duduk di ruang tamu, suasana terasa tegang. Raina memulai pembicaraan, berusaha untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam pikiran Kaivan.

"Kaivan, aku merasa kamu mulai menarik diri. Aku mengerti bahwa kamu sedang menghadapi banyak hal, tetapi aku juga merasa tidak tahu harus berbuat apa," kata Raina dengan jujur.

Kaivan menundukkan kepala, merasa berat untuk menjawab. "Raina, aku... aku takut. Aku takut untuk membuka diri sepenuhnya. Masa laluku masih menghantuiku, dan aku tidak ingin menyakiti kamu."

Kidung Kisah di Balik JendelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang