Setelah terjadi perdebatan tadi, hanya ada keheningan dan suara angin perjalanan didalam mobil travel ini. Tidak ada yang berniat untuk membuka suara, terlalu sibuk tenggelam dalam pemikiran masing masing. Memikirkan serangkaian kejadian yang terjadi pada mereka pada hari ini.
Lyvie tiba-tiba tersentak, membuat Jeffrey yang bahunya ia jadikan sandaran menoleh kearahnya. Tanpa memperdulikan pandangan yang diberikan Jeffrey, kepalanya kini mulai memproses semua kejadian yang mereka alami. Hingga banyak dugaan yang muncul dikepalanya.
Lyvie melempar asal pandangannya kesegala arah, memastikan apa yang teman-temannya lakukan. Tidak ada yang aneh, mereka hanya berbincang, bermain handphone, ada yang kembali memejamkan mata, ada juga yang berdiam diri juga. Ah, tidak mungkin dugaannya yang itu benar. Mereka tidak melakukan apapun yang berbau aneh, selalu menjaga perilaku juga jika sedang berhenti di suatu daerah.
Gadis itu menoleh pada Yiel yang berada disebelah kirinya, lekaki itu sedang memejamkan matanya tenang. Tak ingin menganggu, ia kembali bersandar pada bahu Jeffrey. Mencoba memikirkan hal lain untuk menghapus dugaan aneh dalam kepalanya ini.
Lyvie tersenyum saat Jeffrey menempelkan earphone milik lelaki itu ke telinganya, alunan musik western terdengar jelas di telinganya, lagu khas Jeffrey banget. Dipejamkannya mata cantik itu, menikmati alunan demi alunan musik, satu persatu lagu dari playlist terputar di telinga, menemani malamnya yang terasa panjang ini.
❝ Ini masih lama lagi yog? ❞ ditempat duduknya, Naya terlihat mulai gelisah, kebelet buang air besar dia. Jihan juga sama gelisahnya, ini hari kedua red day nya, lagi deres baget jadi pengen cepet cepet nyampe buat ganti.
❝ Mungkin nay, ini pertigaan desa yang di maksud bapak-bapak tadi juga belum kita lewatin. Kayaknya masih setengah perjalanan lagi ❞ Naya yang mendengar perkataan itu mendengus sebal, berarti setidaknya mereka masih harus menghabiskan setengah jam lagi di dalam mobil begitu?.
Edgar melirik kearah tangannya, jam miliknya menunjukan pukul 19.04. Dahinya mengernyit heran, masa melewati dua desa butuh waktu setengah jam? Toh tidak ada halangan selama perjalanan, mobil juga melaju dengan kecepatan sedang, ngga pelan pelan banget.
Winarta memandang lurus kearah depan, melihat kearah temannya yang sudah mulai lelah. Mereka sudah menghabiskan waktu setengah hari di mobil, siapa juga yang tidak lelah. Ingin mengeluarkan suara saja sudah tidak kuasa, terlalu lelah. Jadi, yang mereka lakukan kini hanya berdiam diri sambil menyibukkan diri masing-masing.
Sampai mobil berhenti, mengalihkan perhatian ketiga belas pemuda yang duduk dibelakang ini, penasaran ada apa didepan sana. Telihat ramai kerumunan orang, banyak kendaraan berhenti rapi sejajar seperti mobil mereka. Yoga turun untuk bertanya, ternyata didepan sana ada tanah longsor. Satu-satunya jalan umum itupun tertutup rapat oleh tanah, kata seseorang yang Yoga tanyai. Mereka hanya ber oh ria. Meratapi nasib, sepertinya malam ini mereka akan tidur di dalam mobil.
Lyvie menegakkan badannya, melihat sekeliling yang sudah ramai orang-orang yang keluar dari kendaraan masing-masing. Merasa aneh sebenarnya, perasaan selama perjalanan tadi tidak banyak mobil yang berlalu lalang, kenapa tiba-tiba yang berhenti jadi sebanyak ini. Jelas sekali ia melihat ke jendela saat perjalanan, bahkan lima menit sebelum mereka berhenti masih ada dua mobil yang melewati mereka dari arah berlawanan.
Tidak mau berpikir macam-macam, dia hanya menganggap dua mobil tadi mungkin putar balik karena tanah longsor dan tidak ingin menunggu sampai jalan kembali dibuka. Dia membuka handphonenya, ingin mengabari orang rumah tapi ternyata susah sinyal disini. Yah, yang penting ngabarin aja dulu, urusan kekirim atau ngga urusan belakang.
Terdamparlah kelima belas remaja itu didalam mobil dengan kegabutan yang merajalela, ingin turun untuk membantu juga tidak tau ingin membantu apa, pertolongan saja mungkin akan datang besok pagi dari kota. Untung saja, mereka sudah menyediakan payung sebelum hujan.
Untungnya persediaan makanan mereka masih cukuplah untuk kelima belas remaja itu sampai besok pagi. Untungnya juga mereka membawa power bank dan hal penting lainnya di dalam mobil mereka, coba kalo tadi mereka taruh di pick up yang sudah duluan pergi mungkin mereka hanya bisa menikmati kegelapan malam.
Keheningan dalam mobil itu pecah saat terdengar ketukan dari jendela kemudi. Terlihat seorang laki-laki berkisar umur lima puluhan sedang berbicara dengan Yoga. Dapat mereka lihat juga yoga tersenyum cerah, apakah ini pertanda baik? pikir mereka. Setelah lelaki itu pergi, Yoga menghadapkan badannya kebelakang.
❝ Syukur guys, kita kaga jadi pegel-pegel tidur di mobil. Kata pak lurah tadi, balai desa dibuka buat ngungsi sementara, jadi kita boleh tidur disana sambil nunggu besok hari ❞ terdengar sorakan bahagia dari mobil mereka, setidaknya bokong mereka terselamatkan dengan bantuan dari pak lurah.
Satu persatu mulai turun dari mobil. Tak jauh berbeda dengan mereka, orang-orang juga turun dari kendaraannya, berjalan rapi membuat barisan untuk dituntun menuju balai desa setempat. Setelah turun semua, Yoga mengunci semua akses masuk mobil dan menyusul temannya masuk kedalam barisan. Tak lupa membawa beberapa barang berharganya.
Sampai di balai desa yang tak terlalu jauh dari tempat bencana tadi, terlihat beberapa warga menyambut ramah kedatangan para pengungsi. Tenda dan alas tidur seadaanya sudah disiapkan untuk tempat istirahat para pengungsi. Senyum kelima belas remaja ini sontak merekah lebar. Dengan tubuh yang sedikit membungkuk dan senyum di bibir, mereka menyapa hangat para warga desa ini.
Mereka diarahkan ke tenda terbuka yang dibangun oleh warga, setelahnya secara bergantian mulai menaruh barang bawaan mereka berdekatan. Para gadis langsung merebahkan tubuhnya, ini dia yang mereka tunggu-tunggu dari tadi, lelah sekali badan ini berjam-jam duduk di dalam mobil.
Berbeda dengan para gadis yang langsung merebahkan diri. Setelah menaruh barang bawaan yang berdekatan dengan para gadis, kedelapan pria remaja itu justru bergabung ke arah sekelompok warga yang terlihat berkumpul dekat dengan tenda mereka. Mengakrabkan diri dengan berbincang ria dengan para warga.
❝ Temenin cari toilet yuk ❞ Julia menoleh kearah sumber suara, dilihatnya Naya dan Jihan masing-masing sudah membawa plastik hitam ditangan mereka. Seakan paham, Julia mengangguk dan bertanya pada yang lain ada yang mau ikut atau tidak, biar sekalian saja. Rosa dan Yura pun sontak mengangkat tangan ingin ikut juga.
❝ Cucinya yang bersih, sampahnya dibawa balik jangan dibuang disana. Hati-hati ya ❞ teman-temannya memberi jempol seperti berkata, aman. Mereka berlima paham apa yang dimaksud dengan hati-hati oleh Rinjani.
Setelah mereka berlima pergi, kini tersisa Rinjani dan Lyvie yang masih sibuk mengemasi barang bawaan mereka semua. Menata rapi agar memberikan space lebih banyak untuk mereka tiduri nanti. Lyvie mengedarkan pandangannya ke sekitar tenda, ada sekitar dua puluh orang lainnya yang ikut mengungsi disini. Semoga saja besok jalan sudah bisa dibuka dan semua orang dapat melanjutkan perjalanannya masing-masing.
TBC
ᝰ.ᐟtolong support aku dengan vote dan komen, aku tau kalian pasti bisa menghargai karya orang lain. big thanks for u guys 𖹭ֶָ̤̮֢⚘.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hear me Out | 97L
Teen FictionSemua dimulai sejak mereka merasa ada yang janggal pada perjalanan berlibur. ⊰. 97 Line ⊰. Fiksi Penggemar ⊰. Non Original Character ⊰. Content Warning: Harsh Words