bab⁴ [ tak berkutik ]

253 34 0
                                    

Suara ketukan jari milik halvino cukup mengintimidasi, tatapan tajam juga tak lepas dari pandangan putra kembarnya.

"Udah ayah bilang kan? Ga usah main basket, imun tubuh kamu lemah, berakhir masuk rumah sakit kan?"

Anza, tak bisa memahami tubuhnya sendiri, ia tak selalu mengerti yang sering terjadi pada dirinya, karena itu halvi selalu memperlihatkan anza untuk jangan kelelahan, namun bukan nasehat yang halvi katakan melainkan sebuah larangan larangan.

Kini anza berdecak kesal, sehabis pulang dari rumah sakit, ia malah langsung berhadapan dengan sang ayah! Dan lagi pula ini rumah siapa?

Arya juga memilih diam, arya tau anza pasti bingung, tiba tiba di jemput oleh orang yang mengaku sebagai om nya. Walaupun arya ikut, namun tetap saja membuat tanda tanya di dalam diri anza pastinya.

"Lagian aku tau, aku tau tubuh aku sendiri! Ini semua gara gara ayah! Ayah selalu ngelarang aku ini itu, buat aku jadi lemah!" Sarkasnya keras.

Arya ikut termakan omongan anza, benar juga? Tubuh anza lemah pasti' karena terbiasa dilarang ini itu, membuat tubuh anza tak terbiasa.

"Nurut aja bisa ga si? Anza!! Kamu juga Arya, kamu bolos kan? Apa susahnya cuma les 3 hari dalam seminggu? Main selain hari les kan bisa? Kalian masih ada 4 hari buat main!"

"AKU GA SUKA DI ATUR!! Ayah terlalu ngatur apa yang aku lakuin, sampe rasanya aku ga bisa bebas!!"

"Ayah ga bakal tau, gimana aku suka banget sama musik, ayah itu egois, cuma mikir diri sendiri!"

Ke-dua lontaran nada tinggi itu, hendak kembali halvi jawab, ia cukup kesal, namun juga kecewa, ia kecewa pada putranya. Namun belum sempat menjawab omongan yang putra suara lain sudah terlebih dahulu terdengar.

"Punya apa kalian? sampe berani bentak anak saya?" Setelah selesai di ruangan kerjanya, brian ingin kembali menemui sang putra bungsunya, namun sekarang melihat cucunya melontarkan nada tinggi, bahkan terkesan membentak itu membuat brian naik pitam.

Anza cukup tersentak kaget, mendengar nada yang begitu mengintimidasi, auranya juga terlihat cukup menakutkan. Anza melirik ke arah arya meminta penjelasan. "Dia, opa kita za."

"Papa ngapain? Jangan ganggu aku dulu, aku belum selesai ngomong sama anak anak." Raut sebal halvi berikan untuk Brian.

Brian yang menatap tajam cucunya, kini terkekeh pelan karena mendengarkan suara anak bungsunya. "Anak anak ngomong sama anak anak? Gimana bisa nurut?"

"Aku bukan anak anak pa, aku udah besar!" Lihatlah, wajah yang tak pernah menua itu, halvi bahkan masih terlihat seperti anak sekolah. Membuat brian merasa tenang melihat wajah si bungsu.

"Sebentar ya? Papa ngobrol sama anak anak adek, adek lagi ditunggu tuh sama Abang zio, kesana gih." Ucapannya lembut, brian sungguh selalu ingin memperlakukan halvi seperti anak kecil. Walaupun sudah memiliki dua putra, rasanya brian tetap ingin memanjakan putranya.

Pipi halvi sedikit merona, ia malu jelasnya, brian dengan lantang memanggilnya dengan sebutan adek. "Udah di bilang jangan panggil aku adek lagi!" Sinis halvi, setelah itu ia mengangguk. "Jangan kasar loh ya sama anak anak aku, awas aja papa ngomong yang engga engga, aku ga mau ngomong sama papa!"

Setelah itu halvi pergi, tanpa berpamitan, ia beranjak begitu saja. Kini tersisalah brian dan si kembar.

"Saya perintahkan, saya bicara bukan sebagai kakek kalian, tapi sebagai papah dari halvi. Saya tidak mau mendengar nada tinggi, atau bahkan bentakan yang kalian layangkan untuk putra bungsu saya! Saya tidak mau hal yang tidak di inginkan terjadi." Iya brian hanya takut, brian hanya takut bahwa nada nada tinggi itu, mengingatkan halvi pada masa lalu. "Ini bukan ancaman, ini peringatan." Setelah itu Brian pergi, meninggal kedua cucunya.

perihal keluarga halvino Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang