bab⁵ [gaduh]

187 33 8
                                    

Rumah yang semula sedikit suram itu kembali hidup, jantung rumah' itu kembali pulang, membuat rumah kembali hidup pada sedia kala.

Dua sosok yang sama sama sudah mempunyai putra itu mengerjar satu sama lain, mereka tak berubah sama sekali walau tak bertemu 17 tahun lamanya, hubungan mereka masih seperti sedia kala, tak merenggang, malah terlihat semakin mendekat.

"Balikin punya gue monyet!!!" teriak melengking dari yang paling muda diantara keduanya.

"Bukan monyet!!" jawabnya tanpa nada yang di tinggikan, sambil menjulurkan lidahnya, Ia tak akan pernah meninggikan ucapannya pada sang adik.

Nafas mereka berdua terengah-engah. Si bungsu dan si tengah itu saling bertukar pandangan dengan jarak sekitar tiga meter.

"Itu punya gue!! Cookies itu punya gue! Balikin monyet!!" Persetan dengan sopan santun, halvi diliputi amarah karena miliknya di ambil, ia tidak suka, ia kesal juga sebal.

"Eh no no no, kamu udah makan banyak tadi ya dek dek." Jari telunjuknya ia goyangan kanan kiri, menandakan bahwa ia menolak untuk mengembalikan, bahkan ia tak memperdulikan sikap adiknya yang kasar.

Belum sempat si bungsu kembali berbicara, suara lain sudah mengintruksikan mereka berdua. "Halvi, ciko udah!" Bapak empat anak itu, menghentikan aksi kedua putranya yang hendak saling mengejar lagi.

"Pah, liat ciko ngambil cookies aku," rengeknya, ia langsung mengubah nada dan gaya bicaranya, sambil menghampiri sosok yang akan menjadi pembela terdepan untuknya, brian sang papa.

Ciko menatap malas. Malas dengan kedatangan pria yang menjabat sebagai papah kandungnya. "Ganggu aja ya elah, pake dateng segala, merusak suasana banget." Cibirnya menyindir sang papa, nyatanya ciko tak pernah berubah, masih sama dengan mulut cerewet, juga banyak omong.

Sang papa hanya tersenyum dengan bangga. "Ambil lagi aja di dapur sana, masih ada kok stok nya. Tanya sama mama gih."

"Eh bener masih ada?" tanya halvi antusias.

Brian meangguk dengan mantap, sebelum akhirnya ia kembali berbicara. "Tapi jangan banyak-banyak, kamu udah makan banyak cookies."

Halvi menurut, ia melangkahkan kaki ke dapur menghampiri sang mama, dilihat sang mama dan istrinya sedang membuat kue bersama.

"Sayang," panggilnya pada sang istri, halvi mendekat menyenderkan dahinya pada bahu sang istri, mengusak pangkal hidung ke bahu sang istri.

"Kenapa? Jangan ganggu ih, aku lagi buat kue, sana hus hus," usirnya jengah. Halvi mendengus kesal, ia hanya ingin bermanja-manja malah di usir oleh sang istri.

Diana sang mama yang melihat hal tersebut terkekeh pelan, melihat tingkah manja anak bungsunya pada sang istri.

"Sana kamu dusel dusel sama papa, pasti seneng banget dia," ledeknya. Diana tau betul bagaimana sang suami jika ditempeli sang bungsu.

"Ah ga mau, kalo dusel dusel ke papa, pipi aku merah semua, orang udah jadi ayah dua anak juga, pipi masih di cubit," halvi mendengus nafasnya lelah. Ia melirik sang mama. "Mama, cookies, mau."

Diana lagi lagi terkekeh pelan untuk ke dua kalinya, halvi tetap lah halvi yang dulu, halvi yang selalu menjadi anak kecil di dalam keluarganya. Diana mengambil toples cookies yang ia simpan, yang memang di peruntukan untuk si bungsu. "Nih, jangan sampai kecolongan lagi sama abang mu ya?" Peringatannya mendapatkan anggukan dari halvi.

"Makasih mama," ujarnya, dengan senyuman yang lebar. Halvi akan kembali ke ruang tamu, sambil menonton acara acara yang menurutnya menyenangkan. Namun sebelum itu, halvi terlebih dahulu mencium pipi sang istri yang sedang fokus mengaduk adonan.

perihal keluarga halvino Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang