bab³ [tahta tertinggi bertindak]

224 27 0
                                    

Masih ditempat yang sama, di sebuah rumah sakit, namun di ruangan yang berbeda, 4 pemuda itu tengah berkumpul, dengan salah satunya yang terbaring di atas ranjang pesakit.

Haza, arya, dan bimo duduk di tepi brangkar anza. "Gimana udah mendingan apa masih pusing?" tanya yang tertua haza. Haza menatap anza yang sesekali mendesis kala rasa pusingnya itu kembali datang. Anza tak menjawab, dia hanya terdiam seraya melihat pemandangan di luar jendela, ada perasaan yang mengganjal dalam benak hatinya.

Tak lama knop pintu terbuka, menampilkan meysa, sang ibu. "Kok kamu bisa sampe pingsan za?" ujarnya saat melihat sang anak tengah terbaring, meysa buru-buru mendekat, ia langsung mendekat mengusap kening anza dengan pelan. "Kamu tuh bikin bunda khawatir aja." Anza masih diam, suasana hatinya cukup buruk, anza sendiri juga tak mengerti akan perasaan sendiri.

"Ayah mana?" tanya arya, pasalnya sang ayah itu dihubungi terlebih dahulu, harusnya ayah sudah sampai sedari tadi, perasaan arya cukup risau, entah apa yang ada dalam benaknya, perasaan akan khawatir akan sang ayah selalu saja bersemayam.

"Udah dikabarin ayah?" Meysa malah balik bertanya, sang ibu mulai duduk bersebrangan dengan arya.

Arya menggeleng, ia menghela nafas kasar, memandang sang bunda yang memijat pelan dahi adiknya.

"Nanti juga dateng, mungkin masih ada urusan di kantor." Meysa juga khawatir, pasalnya kalau perihal sang anak, halvi selalu menjadi orang nomor satu yang akan datang lebih cepat. "Kalian udah pada makan belum?" tanya meysa, melihat putra sulungnya, dan dua teman putranya itu terlihat lesu. Ketiganya hanya menjawab dengan gelengan rendah. "Ya udah makan dulu gih kalian, abis itu pulang aja, biar anza sama bunda."

Ketiganya kompak setuju, memilih berpamitan, arya juga ingin membersihkan badan, ia cukup letih melihat lomba musik, apa lagi mendapatkan kabar anza yang tiba-tiba pingsan di lapangan basket.

Saat ketiganya berjalan di koridor rumah sakit, haza mulai menajamkan matanya saat melihat sosok familiar yang begitu ia kenali, saat sosok itu semakin mendekat semakin jelas ia tau siapa sosok tersebut. "Papah?" suaranya cukup keras, bimo dan arya juga melihat arah pandang haza, saat suara haza berseru tadi.

"Lah? Om zio?" beo bimo, sosok ayah dari temannya itu kian mendekat dengan langkah terburu buru.

"Loh? Kamu kok dirumah sakit, haza?" tanya sosok yang berstatus papah dari haza.

"Harusnya aku tanya, papa ngapain disini?"

"Adik papa masuk rumah sakit, papa buru buru, papa tinggal dulu ya?" Yang paling penting adalah adiknya saat ini, anaknya pun terlihat baik baik saja, pikirannya berfikir mungkin sang anak hanya menjenguk temannya.

"Om caka? Atau om ciko yang sakit?" tanyanya, karena setahunya adik papahnya hanya dikembar caka, ciko.

"Ngobrolnya nanti aja ya, papah buru buru, kamu pulang aja. Atau ikut sekalian juga gapapa."

"Ikut." Haza memilih untuk ikut, sementara bimo dan arya lebih memilih pulang.

"Iya udah om kita berdua pulang dulu ya," ujar arya.

"Iya om kita pamit dulu ya," timpal bimo. "Eh ya, gue kayanya buru-buru deh, tiba tiba nyokap ngabarin gue buat nganter pesenan duluan ya, maaf banget gue tinggal dulu?" Bimo lebih dulu melesat pergi, setelah berpamitan.

Arya juga sama, ia akan pergi, setelah mengucap pamit, langka itu mulai beranjak, namun  saat langkah itu mulai berjalan maju, dua suara laki laki membuat ke-empat nya menoleh.

"Aku ga mau pah! Aku bisa ngurus hidup aku sendiri!" ujar pria yang lebih muda, dengan penekanan penuh. Yang lebih tua juga menjawab dengan nada yang sama.

perihal keluarga halvino Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang