'Takdir'

21 1 0
                                    

Happy reading~
.
.
.

"Menurutmu takdir itu adil?"

"Kalau memang benar people come and go. Tapi kenapa harus dia duluan, Na?"

"Takdir jahat sama kamu, ya?"

"Aku benci kalau inget itu lagi, Na,"

-o0o-

Ini cerita tentang sebuah kepedihan, di mana takdir dengan kejam menempatkan dirinya kepada seorang gadis. Gadis yang kesepian.

"Pulang sekolah, kita ngumpul bareng yuk? Di kafe biasanya," kala itu, perempuan bernama Eunbi memecahkan kecanggungan. Mereka ada di dalam kelas sekarang.

"Boleh. Lo gimana, Rin?" Gadis dengan cardigan berwarna broken white itu memandang temannya, Hwarin. "Pacar gue ngajak jalan nih. Sorry ya, Eunbi, Yuna."

Hwarin meringis. Sebenarnya dia ingin ikut, tapi karena pacarnya sudah menghubungi dirinya lebih dahulu. Dia tak sampai hati untuk menolak. Sudah satu minggu Hwarin dan kekasihnya itu tidak pergi berkencan semenjak adanya ujian sekolah.

"Yahh... yaudah deh, Rin. Kapan-kapan aja," Eunbi menghela napas pendek. Eunbi dan Yuna memaklumi keadaan Hwarin. Bukan karena apa, tetapi temannya yang satu itu sudah lama tidak berkencan karena terus bermain dengan mereka serta sibuknya ujian.

Mereka diam setelahnya. Hening, hanya ada dentingan jam yang beradu dengan alat makan mereka yang saling berbenturan. Ya, ini jam istirahat. Anak-anak yang lain sedang sibuk ke luar kelas, sedangkan mereka hanya pergi ke kantin sebentar kemudian kembali lagi untuk makan bekal bersama.

Dentingan ponsel berbunyi kemudian, ada sebuah pesan. "Hape lo bunyi tuh, Yun." Buru-buru Yuna melihat, siapa yang meneleponya. Ah... rupanya kekasihnya. Jungkook.

"Sayang, maaf ya. Kayaknya besok aku ga bisa ajak kamu ke taman,"

"Loh, kenapa, Kook?"

"Saudara aku ada yang meninggal. Ini aku mau langsung ke sana."

Saudara aku ada yang meninggal...

Ada yang meninggal...

Meninggal....

DEG!

"Temen-temen, aku ke toilet dulu," Hwarin berlari sekencang-kencangnya seolah dia sedang ingin buang air. Dadanya berdegup kencang. Air matanya berlinang saat sampai di kamar mandi.

Dia buru-buru untuk masuk. Namun, seseorang menahan lengannya. "Hwarin? Kamu kenapa?" Suara itu, suara yang begitu melekat diotaknya hampir setahun terakhir ini.

Menoleh ke belakang, Hwarin melihat sosok kekasihnya. Melihat gadisnya menangis, si laki-laki itu menunduk. Mengusap jejak air mata gadisnya lembut seolah dia tau apa yang terjadi.

Menggeleng kepala perlahan, laki-laki itu tersenyum lembut. Dia tau kenapa gadisnya menangis, "it's okay... I won't go." Maka semakin deraslah air mata sang gadis.

"Na... aku mau bunda, Na." Erangnya dalam tangisan itu. Segeralah dia bawa tubuh ringkih itu dalam pelukan hangat yang ia punya.

"Ikhlas, sayang... ikhlas, ya? Bunda kamu sudah bahagia di sana," dibelainya lembut rambut panjang itu.

Min Hwarin, dia menjadi trauma hebat ketika mendengar kata 'meninggal'. Hal itu terjadi karena setelah bercerai dua tahun, ibunya yang selalu bersamanya itu pergi untuk selama-lamanya. Ibunya meninggal karena penyakit. Sakit kanker darah yang disebabkan karena kepedihan atas perceraiannya dengan sang suami--Ayah Hwarin.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang