'Tirai Kebohongan'

50 4 10
                                    

Happy reading~
.
.

.

"Halo?"

"Halo, kak,"

Aku menghela napas lega begitu suara lembut itu masuk telingaku. Bibirku terangkat, aku tersenyum kecil, lalu merebahkan diri di kasur. Menatap langit-langit kamar.

"Vie, lagi apa?" tanyaku sebelum masuk ke percakapan intinya. Aku tak mau dia terganggu karena aku. "Lagi makan malam, kak. Ada apa?"

Ah.. pacarku yang satu ini selalu peka. Dia tahu sekali bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.

Bibirku mengerucut, seketika ada sesuatu dalam diriku yang mendorong untuk ku menangis lagi. Padahal tadi sudah menangis, dasar cengeng.

"Atlas... aku habis bertengkar lagi sama dia," aku mengaku. Tetesan air mata mulai berjatuhan dengan sendirinya.

Terdengar dentingan alat makan yang saling bersentuhan, "ada apa lagi, kak? Dia memukulmu?" Bahuku bergetar kemudian. Aku nyaris menangis kencang.

Kepalaku mengangguk pelan, walau aku tahu Javier--pacarku itu--tidak akan bisa melihatnya. "Ck, apa dia sudah gila? Obati lukamu, kak."

Aku semakin menangis. Aku menggigit lengan kiriku agar tidak menimbulkan suara, "kak Lexa, tahan sebentar ya? Besok kakak bisa ketemu sama aku. Besok aku antar kakak kerja, ya? Jangan menangis lagi... kakak kalau menangis seperti orang sakit flu,"

Dia tertawa kecil, mencoba menghiburku, "aku mau kamu, Vie... tapi ini sudah malam," kataku pada akhirnya disela isak tangis. "Aku juga, kak. Tapi ini sudah malam. Sabar ya."


-o0o-


"Alexa! Alexa buka pintunya!" Terdengar sebuah bentakan dari luar kamar. Sepertinya itu Atlas.

Huh, dasar! Pagi-pagi sudah berteriak seperti orang gila.

Aku segera membuka mataku, "apa?!" kataku kesal. Mataku berat sekali untuk dibuka, mungkin karena semalam banyak menangis.

Terdengar pintu dibuka, "kenapa belum bangun?" Ketusnya. Aku mendengus kasar. Sengaja ku perlihatkan begitu.

"Ini masih jam lima. Gila ya kamu, Atlas?!" Laki-laki bertubuh tinggi itu mendekat, lantas aku mundur, menjauh karena takut di pukul lagi.

"Bangun. Bi Neni nyuruh kamu makan." Ujarnya lalu keluar begitu saja. Ugh... aku tidak percaya dia datang hanya untuk itu. Padahal tampangnya seperti pembunuh bayaran.

Kaki ku melangkah menuju kamar mandi. Aku menggosok gigi, mandi, dan berdandan sedikit seperti biasa. Lagi pula ini masih pagi dan tempat ku bekerja juga tidak sejauh itu. Hanya sepuluh menit jika menaiki mobil

Begitu sampai di dapur, aroma nasi goreng mengguar ke seluruh ruangan. Aku cepat-cepat untuk duduk di salah satu bangku.

"Jangan kasar sama adikmu, Atlas. Kasihan dia," wanita paruh baya itu sibuk menuangkan minuman ke gelas kami masing-masing.

Kepalaku menunduk. Rupanya bi Neni tahu aku dihajar olehnya semalam. Hanya karena aku bertanya mengenai kedua orang tua ku. Apa salahnya?

Ku dengar, Atlas menggumam. "Ayo kita makan," ada senyuman di wajah keriput bi Neni yang membuatku ikut tersenyum.

"Kamu jam berapa ke toko, Lexa?" Tanya bi Neni. Aku bergumam sejenak, "jam setengah tujuh, bi. Javier akan menjemputku."

Ya, aku membuka usaha toko pastry  yang sudah tiga tahun ku jalani. Toko itu aku bangun setelah bekerja sembari kuliah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang