Ku tepati janjiku padanya, sore ini aku sudah memarkir mobil di samping sekolahnya untuk menjemput Halilintar.
Rajin sekali ya aku ini. Padahal aku baru pulang kerja, harusnya merasa lelah dan rebahan di rumah bermesraan dengan tempat tidur. Tapi malah menyempatkan diri menjemput anak itu. Mana lebih sempat-sempatnya lagi, aku pulang dulu hanya untuk mengganti mobil tapi tidak mengganti baju kerjaku.
Untung aku datang tiga menit sebelum jam pulang, jadi tidak perlu menunggu hingga lumutan. Kuperhatikan satu-persatu siswa siswi yang melebur keluar gerbang sekolah ini dan berharap aku segera menemukan adikku dari dalam mobil ini.
Gotcha, ketemu. Dia berjalan keluar bersama empat orang siswa lainnya yang kuyakini adalah circlenya. Dua orang perempuan dengan hijab merah muda dan rambut di kuncir dua berkacamata- tampang-tampang chinese. Sisanya dua orang laki-laki bertubuh gempal dengan kulit sawo matang dan laki-laki berambut landak warna ungu galap dan berkacamata- rasanya aku seperti pernah melihat bocah landak itu. Tapi dimana ya?
Keputusan bagus mereka untuk melewati jalan yang terparkir mobilku. Aku tekanlah klakson mobil ini dan membuka jendela sambil memanggil adikku. "Halilintar, sesuai janji kakak tadi pagi. Menjemputmu." Kataku sambil me-wink sebelah mata menyapa adikku yang bersama teman-temannya di luar mobil.
Halilintar yang melihat itu hanya mengerutkan alis dengan tatapan judesnya. Dia lanjut berjalan tanpa menghiraukan keberadaan aku. Tidak dengan ke empat temannya yang masih diam di tempat memasang wajah bingung. "Dia siapa Hali?" Tanya salah satu teman perempuannya yang berkacamata.
"Bukan siapa-siapa. Biarkan aja dia." Hali menjawab pertanyaan dengan muka sinisnya melirik mobilku.
Kejamnya kata-katanya itu. Belum pernah ku sumpel ya mulutnya pake balon?
"Bukan siapa siapa? Dey, lalu kenapa dia menggunakan mobil milik ayahmu?" tanya si botak bertubuh gempal itu.
Aku terkekeh geli mendengar protes temannya yang jenius. "Right. Mobil ini memang milik ayahnya" mataku tertuju padanya.
Aku pun memutuskan keluar mobil dan membalas kata-kata kejamnya. "Jahatnya adikku ini. Padahal tadi pagi kamu baru bersifat manis depan kakakmu ini." Aku menyembunyikan seringaiku di balik muka memelas.
Hah! Kena kau.
Ke empat temannya menatap heran padaku dan Halilintar bersamaan. Bocah songong itu tampak tidak percaya juga dengan kata-kataku. Kenapa mukanya berkata seolah-olah seperti orang yang habis di tuduh maling pisang. Nyatanya kan memang dia begitu pagi hari.
Ingat kan, kalian? Saat aku mengantar anak itu ke sekolah pagi hari tadi. Dia bersikap manis padaku dengan telinga memerah saat kuberi uang jajan untuknya.
"Halilintar memiliki Kakak?" Ucap gadis berkuncir dua yang mengenakan kacamata. Ke empat temannya dapat kulihat saling menatap bingung. Itu hanya membuatku terkekeh geli melihat keterkejutan mereka.
"Dey, jangan begitu kau dengan Kakakmu. Jahat sekali." Temannya yang bertubuh gempal menanggapi dengan membelaku bersama dengan anak laki-laki lainnya yang berambut landak. Ia ikutan mengangguk setuju dengan kalimat teman gempalnya Halilintar.
"Halilintar, kenapa kamu tidak bilang itu kakakmu? Kamu bisa pulang duluan kok kalau kakakmu sudah menjemput." Ujar di perempuan manis berjilbab merah jambu. Ucapannya yang terkesan lembut itu menegur Halilintar sambil sambil menatapku dengan rasa tidak enak. Baik sekali anak gadis ini.
"Dasar Halilintar. Kukira dia hanya akan judes dengan kami dan yang lainnya. Tapi dengan kakakmu juga seperti itu?? Dasar tidak tau di untung padahal sudah punya kakak baik hati dan cantik, tapi malah di jahati." Timpal bocah landak itu geleng-geleng kepala sambil melipat kedua tangannya di dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halilintar X Reader | His Obssession
Teen Fiction"Aku sama sekali tidak pernah menduga kalau akan begini jadinya. Sudah sejak kapan kau seperti ini?" (Nama). "Tidak perlu tau. Terlambat untuk kamu menyesalinya, (Nama)." Halilintar. Ia benar-benar menyesali segala keputusannya yang berhungungan ten...