PROLOG - 1

1K 77 7
                                    

Udara yang cukup dingin di tengah musim penghujan kota Jakarta. Aku hendak pulang dari kantor sialan yang telah membuat diriku lembur hingga pertengahan malam begini. "Sial banget. Padahal BMKG bilang langit cuma mendung seharian." Monologku merutuki hujan yang turun dengan lebatnya di depan lobby kantor.

Aku berkali-kali mengetuk kecil kaki kiriku yang di balut scarpin heels berwarna crimson red ke lantai marmer lobby kantor sembari menengok pergelangan tanganku yang di lingkari arloji kecil.

Sekarang pukul setengah dua belas malam tapi hujan tidak menunjukkan tanda akan mereda.

Sial sial sial.

Aku menyesal hari ini tidak bawa mobil karena terlalu malas menyetir sendiri mengingat kemacetan kota Jakarta yang sangat memuakkan dan bikin unmood di pagi harinya.

Tiba-tiba aku mendengar nada dering handphoneku berbunyi. seseorang meneleponku jam segini. Siapa orang tanpa sopan santun nan tidak tau waktu telah meneleponku di jam-jam ini. Ku ambil handphone itu dari dalam tas lalu ku baca siapa orang yang meneleponku itu.

Oh, ternyata Pamanku.

Ku angkat panggilan telepon tersebut. "Ya, Paman? Sudah kubilang aku tidak akan ikut denganmu. Aku sudah memiliki tanggung jawab dan pekerjaan yang aku cintai disini. Lagi pula aku juga sudah dewasa. Jadi Paman tidak perlu mencemaskan aku. Cukup urus urusanmu sendiri disana." Ceramahku panjang lebar tanpa putus begitu langsung mengangkat panggilan telepon beliau.

Hah, yang benar saja. Pamanku terus menelepon akhir-akhir ini untuk membujukku ikut tinggal dengannya di luar negeri.

Duh, memangnya dia pikir aku umur berapa. Aku sudah dewasa bahkan aku sudah memiliki pekerjaan sendiri. Aku juga sudah punya apartement dan aku bisa tinggal sendiri tanpa harus menyusahkan Paman lagi bila aku tinggal dengannya.

Asal kalian tau, sekarang aku ini independent woman. Jadi aku sudah tidak lagi merepotkan Pamanku untuk sekedar menumpang tinggal dengannya di saat orang tuaku pergi. Aku bisa melakukan semuanya sendiri. Toh sekarang aku banyak uang kok ho ho.

"Tunggu, bukan itu yang ingin Paman sampaikan." Terdengar balasan dari telepon itu.

"Lalu apa?" Tanyaku dengan alis yang mengkerut.

"Datanglah ke rumah Paman."

Apa-apaan kalimat ajakan itu. Apa bedanya dengan dia yang menyuruhku tinggal beberapa waktu lalu dengan dia yang sekarang menyuruhku datang ke rumahnya. Dia berniat menjebakku ya.

"Aku sibuk Paman, aku akan ikut wakil direktur melakukan perjalanan bis-"

"Ke Kuala Lumpur, kan? Terkait masalah pemalsuan anggaran pemasaran produk yang masuk ke jurnal penutup kantor cabang oleh ulah sekelibat oknum disana kan."

Brengsek. Dari mana dia tau tentang itu.

"Tidak." Jawabku detik itu juga tanpa ragu.

"Kamu bohong." Balasnya dengan nada penuh selidik.

Ck, kenapa pula dia terus-terusan mencampuri urusan kerjaku. Terakhir kali dia juga mengetahui kalau aku pergi dengan wakil direktur menghadiri rapat dengan investor-investor terkenal di Melbourne.

"Kapan kamu ke Kuala lumpur?" Dia melontarkan pertanyaan.

"Cari tau saja sendiri. Paman kan selalu tau apapun tentangku." Aku yang sudah malas dengannya lantas menjawab dengan judes sambil merotasikan bola mata ke atas.

"Tiga hari lagi ya.." Nah itu dia tau. Untuk apa dia repot-repot bertanya kalau sudah mengetahui semuanya.

Sambil mendengar suaranya di seberang telepon, ku lirik mataku ke samping melihat hujan yang bagusnya sudah reda. "Udah dulu ya, hujan disini mulai reda. Aku mau segera pulang. Jaga kesehatanmu, aku baik-baik saja disini. Jadi tolong longgarkan sedikit pengawasanmu soal aku disini. Sungguh aku baik-baik saja, Paman Amato."

Halilintar X Reader | His ObssessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang