Sarkasmus: Die Faehigkeit, Idioten zu beleidigen, ohne dass sie es merken
Genggaman telapak tangan itu begitu erat pada kemudi mobil. Dua botol minuman beralkohol dengan kualitas terbaik di Eropa itu tak bisa membuatnya mabuk, dan mengendarai dengan sembarangan mobilnya. Tatapannya tajam, tak terlepas dari jalanan kosong di depan sana.
Sesekali pemuda itu melirik pada arloji yang melingkar di tangannya, sudah hampir pukul empat pagi, dan dirinya belum juga berbaring di tempat tidur. Berpikir untuk kembali ke rumah di waktu seperti ini sudah pasti akan membuat sang nenek menghakiminya, lalu menghukumnya untuk tidak keluar rumah seharian penuh.
Jujur saja, dia memang kelewatan tadi. Tapi, bukan tanpa alasan pemuda dengan manik emas tajamnya itu bertindak, dia terlanjur kesal dengan sosok yang disebutnya 'setan kecil' sang penghambat kemenangan telaknya.
Kini dari balik kemudi mobil sport balap kebanggaannya yang dibekali mesin turbo V8 3.9 serta mampu menghasilkan power hingga 670 hp dan torsi 760 Nm, dia melakukan rem mendadak saat netranya menangkap lagi-lagi sosok setan kecil yang baru keluar dari lorong gedung kelab tempat dia bekerja.
"Kau, hm ..." Dia menyeringai penuh kemenangan melihat sosok seorang gadis yang tengah mencari sesuatu dari dalam tasnya. "Akan ku patahkan congkakmu itu," imbuhnya angkuh.
Tanpa menunggu lama sosok Jecha keluar dari dalam mobil. Dia berderap cepat, menukik absolut tanpa menimbulkan suara terkecuali angin malam yang berhembus. Dalam sekali gerak, dia bisa mencengkeram seluruh lengan gadis itu dalam telapak tangannya.
"Kau setan kecil," ucapnya, dan menarik gadis itu dengan kasar ke arah mobilnya.
Gadis yang ditarik itu terkejut bukan main. Jantungnya seakan melompat dari tempat mendengar lontaran tak sopan pemuda itu lagi, dan lagi.
Saat punggungnya menabrak pintu mobil dengan kata lain pemuda itu menghempasnya hingga membentur pintu mobil yang bisa dia kira-kira lebih mahal dari harga wohnung-nya selama sepuluh tahun. Dia menatap tidak senang pada pemuda yang berlaku seenaknya serta mulut lemasnya.
Pemuda itu mengurungnya dalam kungkungan, dan demi Tuhan fajar hampir menyingsing. Rasa kantuk mulai menyerbunya, lalu untuk apa pemuda brengsek ini masih berada di jalan seperti ini. Ah, tak perlu heran, keduanya pernah bertemu di waktu yang sama kemarin. Dia ini anak jalanan atau apa?
"Kau tau aku membencimu, bukan?" Pemuda itu berujar, mencoba mempersempit ruang gerak gadis bernyali besar dengan tinggi tubuh di bawahnya.
"Aku tidak peduli," ucap gadis itu tak kalah ketus. "Lagipula aku tidak mengenalmu. Siapa pun kau, aku tidak peduli. Aku juga benci dirimu, dan mulut lemasmu itu."
Pemuda dengan nama Jecha itu menggeram mendengar penuturan setan kecil di hadapannya. "Kau-"
"Apa? Kau mau mengancamku karena berani menantangmu?" Gadis bertubuh kecil itu benar-benar berani untuk beradu mulut dengan pemuda di hadapannya.
Tunggu dulu, apa gadis ini tidak tau dengan siapa dia berurusan? Hei, little girl kau baru saja membangkitkan amarah seorang Jecha. Apa kau belum pernah mendengar namanya? Anak Jeykha Adler. Cucu Jordan Adler yang kasusnya mendunia. Apa kau tidak tau tentang keluarga Munster? Ah, kau gadis yang payah.
Jecha seakan kehilangan silabel absolut, hingga kata-kata pedas yang menikam tajam di setiap fuad. Gadis yang tengah di tatapnya ini sungguh berani. Bahkan 1001 pesona yang dia miliki seakan tak mempan untuk si setan kecil.
"Hei kau, setan kecil-"
"Lepaskan aku! Aku harus pulang!"
Belum selesai Jecha berucap, gadis itu dengan cepat mendorong tubuhnya ke belakang, lalu hendak berderap pergi. Namun, lagi-lagi tangan Jecha mencegahnya. Dia berputar setengah derajat, menatap kembali wajah congkak bermata emas itu.
"Kau ini benar-benar menyebalkan, hm. Apa kau tidak tau siapa aku?" Jecha melangkah mendekat padanya, dan dengan terpaksa gadis itu melangkah mundur pelan-pelan seirama dengan langkah Jecha yang kian mendekat.
Belah bibir gadis itu hendak mengeluarkan bantahan, namun salah satu jemari Jecha terletak begitu cepat di depan bibirnya. "Aku tidak memintamu untuk membantah setan kecil," ucapnya. "Listen!" Jecha mendireksi mutlak. "Aku Jecha Adler, apa kau pernah mendengar nama itu?"
Dahi gadis itu berkerut, berusaha membelah otaknya, mengingat akan nama pemuda di hadapannya ini. Apa dia seorang anak pejabat? Anak mentri? Anak presiden? Tidak tau, gadis itu tidak tau dan sungguh dia tak ingin tau apa pun tentang bastard ini.
"Hallo ..." Jecha melambai di hadapannya kala melihat gadis itu hanya mematung dengan alam pikiran yang sudah pasti sedang mengembara mencari tau bahkan mencoba mengingat siapa dirinya. "Kau tau siapa aku?" Dia bertanya lagi dengan pesonanya yang terkesan tinggi hati.
Gadis itu mendengus pelan. "Aku tidak peduli siapa dirimu," ungkapnya. "Pergi dari hadapanku. Kau sialan." Dia berucap ketus dan lebih tepatnya terdengar sarkas membuat Jecha melotot padanya.
Tanpa lagi mempedulikan ocehan Jecha yang bergema di belakang tubuhnya, gadis itu berjalan pergi. Ah, pemuda sialan itu. Dia mengacaukan hari indah juga berat seorang Alisa. Dasar gila. Sungguh Alisa tak ingin lagi bertemu dengannya.
Bastard itu seakan tak memiliki salah padanya, padahal saat itu Alisa hampir merenggang nyawa karena dirinya. Melaju dengan kecepatan tinggi tanpa memperhatikan situasi hingga kondisi jika ada seorang anak manusia yang dia sebut setan kecil itu hendak menyeberangi jalan.
Setelah kepergiaan gadis itu, Jecha yang berusaha meredam emosinya tak lagi menahan. Dia meninju udara demi kepuasaan diri.
Benaknya begitu sial. Setan kecil itu tak menanggapi dirinya sama sekali. Apa ketampanannya berkurang? Ah, kau bercanda. Jecha berpikir sembari tertawa kecil, mengingat pemikiran sempitnya.
Siapa nama gadis tadi? Alisa, hm. Kau lihat saja setan kecil, akan kuremukan badan teposmu itu. Beraninya kau menggertakku, benak Jecha berkecamuk dengan silabel-silabel sarkasmenya. Dia mendengus, lalu kembali masuk mobil membawa benda besi beroda empat itu melaju licin kembali ke kediaman megahnya- kediaman Adler
×××
Jecha tersenyum kecut kala mobilnya berhenti di depan kediaman keluarga ayahnya. Dia merutuk dalam diam. Demi Tuhan, Arzella akan menghukumnya. Bukan pertama kali Jecha pulang hingga pukul empat dini hari, sudah sering dia melakukannya, dan dia selalu tertangkap basah ketika memanjat pagar besi tinggi berlambang burung Rajawali itu.
Pemuda itu meringis melihat gerbang Adler tertutup rapat tanpa bisa mengintip ke dalamnya. Grannie sungguh kejam, benaknya.
Pilihan Jecha untuk tinggal bersama sang nenek juga pamannya itu bukan tanpa alasan atau karena dia melakukan suatu kejahatan, kemudian diusir dari pulau Munster. Bukan sama sekali. Pemuda dominan dengan kualifikasi tatapan tajam yang diturunkan dari ayahnya itu membuatnya banyak dikagumi, hingga dihormati. Dia memilih untuk menetap di Berlin adalah demi melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi dari sekedar Gasamtschule.
Biasanya pemuda itu akan kembali ke Belanda setiap akhir pekan, lalu mengusili adik perempuannya yang begitu dia sayangi. Bagi Jecha tak ada gadis yang sempurna selain Jesycha, adiknya. Gadis itu bak jipakan ibunya di masa muda, dan sungguh dia sangat menikmati ketika Jesycha meneriaki namanya dengan tidak sempurna karena gadis yang berbeda enam tahun di bawahnya itu berlidah cadel.
Jecha mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Terpampang foto dirinya bersama sang adik. Ah, dia hampir lupa jika hari ini adalah ulang tahun Jesycha. Untung saja pengingat ponsel menghampirinya di waktu yang tepat. Jecha membuang napas berat, lagi dan lagi dia harus memanjat pagar besar itu. Tak apa dia diomeli Arzella nanti, yang paling penting pemuda itu dapat tidur di ranjang yang empuk tanpa harus menyakiti tubuh seksinya itu karena tidur di mobil.
![](https://img.wattpad.com/cover/371574705-288-k97065.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA • Liskook 18+ ✓
ChickLitJecha Lucian Adler adalah putra dari pasangan fenomenal Jeykha Adler dan Lalice Munster. Digadang-gadang sebagai pewaris dua perusahaan besar sekaligus di Eropa itu tak lantas membuatnya berkekurangan. Dia pangeran dengan segala yang dia miliki; tam...