Ryujin mengusap tengkuknya yang terasa dingin terkena sapuan angin lembut di malam hari.
Ia merapatkan jaketnya dan berjalan semakin cepat. Udara malam ini membuat dirinya tidak betah berada di luar lama-lama.
Setelah berdiskusi dengan Jisung, Ryujin memutuskan untuk tetap menemui Hueningkai.
Telpon gue kalau ada apa-apa. Kata lelaki itu.
Ryujin menghela napasnya gugup saat melihat Hueningkai berdiri dengan sepedanya.
"Halo, Kai."
Hueningkai menolehkan kepalanya dan tersenyum ke arah Ryujin.
"Halo juga, Ryujin."
Ryujin dengan gugup memasukkan tangannya ke dalam saku jaket.
Mereka terdiam beberapa saat sembari melihat pantulan cahaya bulan pada air sungai yang jernih.
"Jadi, lo mau ngasih informasi apa?" Kata Hueningkai membuka obrolan.
Ryujin hanya berdeham ringan tanpa menatap Hueningkai. Rasanya ia ingin pulang secepat mungkin.
"Itu... tentang Yuna..."
"Hm?"
Ryujin kemudian memberanikan diri untuk menatap Hueningkai di sorot matanya.
"Lo pasti tahu kan tentang kematiannya Yuna."
Hueningkai mengernyitkan alisnya bingung. "Hah? Kok jadi gue?"
Ryujin menggigit jarinya, bingung harus berbicara dari mana.
"Gini, Kai. Kemarin lo bilang Yuna balik duluan, tapi ternyata dia ditemuin, ya lo tahu lah."
Hueningkai nampak menghela napas dan membuang muka.
"Terus?"
"Terus? Terus jawab sendiri lah. Jawabannya ada di lo."
Hueningkai menatap Ryujin saat ia merasa gadis itu menaikkan intonasi bicaranya.
"Kenapa? Lo pikir gue yang dorong dia dari rooftop?"
"Emang kan?!" Ryujin menatap tajam Hueningkai.
Lelaki itu kemudian menyeringai. "Emang."
Nyali Ryujin seketika ciut saat mendapat respon dari Hueningkai. Senyum lelaki itu menakutkan.
Ryujin mendekati Hueningkai dan menyentuh lengannya. "Lo kenapa ngelakuin hal itu, Kai?"
Hueningkai menundukkan kepalanya dan menggeleng pelan.
Ryujin dibuat terkejut saat badan Hueningkai bergetar dan ia mulai mengeluarkan isak tangis.
"Gue nggak mau kehilangan Yuna, Jin."
Ryujin menatap kasihan pada Hueningkai. "Tapi lo udah ngehilangin nyawa dia."
"Enggak."
Ryujin melepaskan tangannya dari Hueningkai saat lelaki itu tiba-tiba terkekeh.
"Itu akibatnya kalau ninggalin orang seenaknya. Dia bahagia, sedangkan gue? Nangis pun nggak ada yang tahu. Tapi lo tahu, gue nggak pernah sendiri."
Ryujin menelan ludahnya saat Hueningkai menatapnya dengan senyum yang tak kunjung pudar.
"Lo nggak perlu sejauh itu, Kai. Ada kok orang yang mau dengerin semua cerita lo."
Hueningkai menatap bingung Ryujin. "Siapa?"
"Psikiater."
Hueningkai nampak terkejut saat mendengar ucapan Ryujin. Ia kemudian meremat kedua tangannya.