Hueningkai membuka matanya. Ia tidak sadar apa yang terjadi sebelumnya.
Ia kemudian bangkit berdiri. Matanya melotot saat melihat darah di depan pintu. Ia perlahan berjalan dan mengambil sebuah pisau yang tergeletak disana. Pisau itu sudah berlumuran darah.
Hueningkai kemudian mengikuti jejak darah itu. Ia menuruni tangga, dan sampai di belakang rumah.
Hingga darah itu berhenti tepat di depan tempat sampah.
(Ilustrasi)
Dengan ragu-ragu ia menatap tempat sampah itu. Perasaannya tiba-tiba tidak enak saat melihat jejak tangan penuh darah.
Namun, dengan tekad yang semakin bulat, ia pun membuka tempat sampah itu.
Ia mengerutkan alisnya dan menutup mulut serta hidungnya saat mencium aroma anyir darah.
"Sialan!"
Tutup sampah itu ia banting begitu saja saat melihat mayat Jisung yang sudah tidak berbentuk.
Mata Hueningkai tak henti melotot, memikirkan apa yang sudah terjadi.
"Hueningkai."
Dengan cepat, Hueningkai membalikkan badannya dan melihat Taehyun dengan wajah memelas dan sebuah pisau penuh darah di tangannya.
"Kita udah nyoba segala cara, Kai. Ini jalan terakhir."
Keadaan hening sesaat. Hueningkai perlahan mendekat ke arah Taehyun berdiri. Ia melihat lelaki itu dengan ngeri karena badan Taehyun berlumuran darah.
"Apa yang lo lakuin? Apa yang lo lakuin, Kang Taehyun."
"Harus, Kai. Bukannya gitu? Bukannya gue harus ngelakuin itu?"
Hueningkai kemudian memeluk Taehyun. Sedangkan lelaki itu menangis, dirinya takut.
"Gapapa, gue disini. Gue selalu disini."
Hueningkai dengan perlahan mengusap punggung Taehyun agar temannya itu merasa tenang.
Tak lama, sorot lampu dari sebuah mobil menerangi keduanya di kegelapan malam.
Hueningkai melepaskan pelukannya dan menatap mobil itu sesaat. Kemudian menatap wajah Taehyun dan memegangnya.
"Liat gue, Tae. Lo harus berani oke?"
Dengan pelan, Taehyun mengangguk dan mengusap air matanya.
"Oke." Kemudian Hueningkai menghadap orang yang baru turun dari mobil.
Seorang polisi, alias ayahnya Jisung dan seorang wanita paruh baya, ibu Huening.
"Mamah?" Hueningkai mengerutkan alisnya bingung, kenapa ibunya bisa bersama polisi itu.
Mungkinkah karena Jisung tadi menelepon?
"Astaga, kalian gapapa?" Ayah Jisung datang dengan wajah kaget dan bingung saat kedua pria itu terlihat mengerikan dengan baju mereka yang penuh darah.
"Jisung, pak. Jatuhnya Yuna dari rooftop bukan kecelakaan biasa."
Ayah Jisung nampak khawatir sambil melirik tempat sampah di sampingnya. "Kamu ngomong apa?"
"Jisung yang bunuh Yuna. Pak, kita tahu kalau Jisung anak bapak. Tapi bapak harus percaya sama kita." Kata Taehyun dengan lantang.
"Dia pengen bunuh kita. Taehyun harus ngelakuin itu, pak. Dia nyelametin kita." Kata Hueningkai membela temannya.
"Taehyun?" Ibu Huening yang sedari tadi berdiri di samping mobil, kini memajukan langkahnya dan berdiri di samping ayahnya Jisung. Beliau merapatkan jaketnya karena udara semakin dingin.
"Taehyun, bilang sama mereka." Ucap Hueningkai menatap Taehyun.
"Mereka nggak akan bisa lihat, Kai. Nggak akan pernah." Taehyun menatap kedua orang itu dengan tajam.
Ibu Huening berjalan hingga tepat di depan keduanya.
"Cepet ngomong, Tae." Hueningkai menggoyangkan tangan Taehyun.
"Jangan percaya sama ibu lo." Kata Taehyun sambil menatap Hueningkai.
"Dia udah meninggal."
"Nggak, jangan percaya." Taehyun menaikkan intonasinya.
Sementara Hueningkai mulai bingung. Matanya berkaca-kaca dan jantungnya berdetak kencang.
"Di rumah sakit karena keracunan." Ucap wanita paruh baya itu menatap mata anaknya.
"Nggak! Ibu lo bohong!" Taehyun berteriak marah.
"Taehyun udah meninggal, Kai!" Ibu Hueningkai menyentuh pundak anaknya.
Air mata Hueningkai mengalir melewati pipinya begitu saja. Kepalanya sakit mendengar teriakan-teriakan di sekelilingnya.
Ia kemudian menatap Ibunya dan ayah Jisung bergantian.
"Apa yang udah kamu lakuin?" Tanya ibunya dengan pelan dan lirih.
Hueningkai menatap tangan kirinya. Betapa ia terkejut saat mendapati sebuah pisau berada di tangannya. Padahal, ia baru saja memegang tangan Taehyun.
"Hah?"
Dengan badan gemetar, ia melihat pantulan badan Taehyun di jendela. "Tae..." Saat ia mendekat, pantulan itu hilang.
Yang nampak hanyalah dirinya dengan baju berlumuran darah dan sebuah pisau dengan warna merah yang masih segar.
Ctak!
Hueningkai merasa terpukul dan menjatuhkan pisaunya begitu saja.
Sedangkan ibunya menangis melihat kondisi putranya.
Ayah Jisung dengan cepat menghampiri Hueningkai dan memegang bahunya dengan erat.
"Kai, maksud kamu apa jatuhnya Yuna bukan kecelakaan? Bilang, apa yang terjadi sore itu?!"
***
Bingung ga sih sama alurnya?😸
Jadi Hueningkai selama ini cuma halusinasi, waduh👀