chiaroscuro

306 35 4
                                    

Senja merangkak perlahan di ufuk Seoul, mengubah langit menjadi kanvas abstrak dengan sapuan jingga, merah muda, dan ungu. Jae-hyun berdiri di tepi Sungai Han, matanya menerawang jauh menembus riak air yang berkilauan seperti ribuan keping cermin. Angin musim gugur berbisik lembut, membawa aroma daun mapel yang mulai menguning dan wangi tteokbokki dari kedai pinggir jalan.

"Sung-min-ssi! Sung-min-ssi!"

Suara itu lagi. Jae-hyun menghela napas panjang sebelum berbalik. Seorang wanita paruh baya berlari-lari kecil ke arahnya, napasnya terengah-engah namun senyumnya mengembang lebar.

"Ah, maaf!" ujar wanita itu saat sudah dekat, "I thought you were Sung-min. Kalian benar-benar mirip!"

Jae-hyun tersenyum tipis, senyum yang telah ia latih ribuan kali di depan cermin. "Tidak apa-apa, Bu."

"Wah, bahkan suara kalian mirip! Lembut dan menenangkan. Sung-min memang anak yang baik, selalu membantu di acara lingkungan kami."

Jae-hyun hanya mengangguk sopan, membiarkan wanita itu berlalu dengan cerita-cerita tentang Sung-min yang tak pernah ia alami. Ia kembali memandang sungai, membayangkan dirinya hanyut bersama daun-daun mapel yang berguguran, menjadi bagian dari aliran yang tak bernama.

Matahari semakin tenggelam, mewarnai air sungai dengan semburat keemasan yang berkilauan seperti ribuan kunang-kunang. Jae-hyun melangkah perlahan menyusuri tepian sungai, setiap langkahnya seolah membawa beban tak kasat mata.

But in the rare case, does he ever felt it too?

Jae-hyun menggeleng pelan, rambutnya yang lembut bergoyang ditiup angin sore. Tentu tidak! Siapa yang mengenalnya dibanding dengan Sung-min yang penuh talenta? Di setiap acara kampus, Sung-min selalu menjadi bintang. Telaten, bisa diandalkan dalam segala hal. Suaranya yang merdu selalu menjadi primadona di setiap pentas seni, tangannya yang terampil selalu menghasilkan alunan melodi memukau, dan kepintarannya selalu membuat para profesor terkesima.

Jae-hyun tertawa getir, suaranya hilang ditelan desau angin. Tidak mungkin sekali, bagaikan kemungkinan menemukan setitik salju di padang gurun! Berapa persen? Aku tidak tahu, yang pasti minim sekali.

Langit senja kini berubah menjadi kanvas ungu gelap, bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu seperti kunang-kunang di malam musim panas. Lampu-lampu kota Seoul mulai menyala, menciptakan panorama gemerlap yang memukau.

Namun, aku berpikir ini sampai kapan? Jae-hyun menghela napas panjang, uap putih keluar dari mulutnya seperti asap tipis. But I was really serious about wanting to be known as me.

Ia berhenti di sebuah bangku taman, duduk dan memandang jauh ke seberang sungai. I want to be known from my heart, my hard work, my passions, my laugh and sense of humor. The young man who actually cares, listens and will sit with you and sort our life together.

Jae-hyun memejamkan mata, membiarkan suara gemericik air dan desau angin memenuhi telinganya. Ia membayangkan dirinya seperti pohon willow di tepi sungai, kokoh namun lentur, selalu siap memberikan keteduhan bagi siapa saja yang berteduh di bawahnya.

I want to be known for my imperfections but my openness to learn and be better. But most importantly for my kindness and ability to see people for who they simply are. I want to be known for having a beautiful soul. I want to be the sun for other people.

"Jae-hyun-ah!"

Suara itu memecah lamunannya. Min-ji, sahabatnya sejak kecil, berlari kecil ke arahnya, rambut panjangnya berkibar ditiup angin sore. Jae-hyun tersenyum, kali ini senyum yang tulus dari lubuk hatinya.

"Kau selalu tahu di mana menemukanku," ujar Jae-hyun saat Min-ji duduk di sampingnya.

"Tentu saja," Min-ji tersenyum hangat, matanya berbinar seperti bintang pertama di langit senja. "Kau seperti buku favoritku, Jae-hyun-ah. Selalu ada hal baru yang kutemukan setiap kali kubaca."

Mereka duduk dalam diam, memandangi sungai yang kini berkilau di bawah cahaya lampu kota. Suara tawa dan obrolan dari pejalan kaki yang lewat menjadi latar belakang yang menenangkan.

"Min-ji," Jae-hyun akhirnya memecah keheningan, suaranya lembut seperti belaian angin musim semi, "menurutmu, apakah aku akan selalu dikenal sebagai orang lain?"

Min-ji menatapnya lembut, matanya memancarkan kehangatan seperti mentari pagi. "Jae-hyun-ah, kau tahu tidak? Kau itu seperti pohon sakura di tengah hutan pinus. Mungkin dari jauh terlihat mirip, tapi saat musim semi tiba, kaulah yang akan berbunga paling indah."

Jae-hyun tertegun, matanya mulai berkaca-kaca seperti embun pagi di dedaunan. "Tapi Sung-min..."

"Sung-min mungkin bintang kampus," potong Min-ji, suaranya tegas namun lembut, "tapi kau adalah matahari bagi orang-orang di sekitarmu. Ingat tidak saat kau menemani Yoon-gi semalaman di rumah sakit? Atau saat kau mengajari Ji-soo bermain gitar meski kau sendiri masih belajar?"

Memori-memori itu menghangatkan hati Jae-hyun seperti secangkir teh di pagi yang dingin. Ya, ia ingat. Ia ingat bagaimana ia berjuang untuk bisa membantu orang lain, meski dalam keterbatasannya.

"Jae-hyun-ah," Min-ji melanjutkan, tangannya menggenggam tangan Jae-hyun dengan lembut, "authenticity is being true to you. Dan kau, dengan segala kebaikan hatimu, adalah orang paling autentik yang kukenal."

Malam semakin larut, namun hati Jae-hyun terasa lebih ringan, seolah beban yang selama ini ia pikul telah terangkat. Ia memandang pantulan dirinya di air sungai yang berkilauan.

In the end, ia berkata pada dirinya sendiri, suaranya mantap dalam hatinya, just be authentic. Our people will find us or we might find someone who will see us the way we want to.

reverieWhere stories live. Discover now