Uap mengepul dari cangkir porselen putih, membentuk spiral yang menari-nari sebelum lenyap di udara dingin. Jemari yang gemetar menggenggam cangkir itu erat, seolah mencari kehangatan yang tak pernah cukup. Min-ji menatap pantulan wajahnya di permukaan kopi yang gelap, melihat bayangan seorang gadis yang tak lagi ia kenali.
Did you get enough love?
Pertanyaan itu bergema dalam benaknya, menggores luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Apartemen sempit itu muncul dalam ingatannya, dipenuhi aroma alkohol dan asap rokok yang mengambang di udara pengap. Min-ji kecil meringkuk di sudut kamarnya, memeluk erat boneka beruangnya yang usang.
"Kau tak pernah mengerti! Anak itu bukan hanya tanggung jawabku saja!"
Suara Ibunya yang parau membalas, "Lalu apa? Kau mau lari dari tanggung jawab seperti yang selalu kau lakukan?"
Pecahan piring terdengar, diikuti isak tangis tertahan. Min-ji semakin erat memeluk boneka beruangnya.
"Beruang," bisiknya dengan suara bergetar, "kenapa Papa dan Mama selalu bertengkar? Apa karena aku tidak cukup baik?"Suara teriakan Ayahnya memecah keheningan malam, diikuti isak tangis Ibunya yang tertahan. Min-ji mengeratkan pelukannya pada si beruang, air mata mengalir deras di pipinya yang pucat.
My little dove, why do you cry?
Air mata menggenang di pelupuk matanya, namun ia menahannya sekuat tenaga. Ia bukan lagi merpati kecil yang rapuh. Ia adalah burung dengan sayap patah, terjebak dalam sangkar tak kasat mata yang diciptakan oleh ekspektasi dan kekecewaan. Setiap kepakan sayapnya terasa menyakitkan, setiap usahanya untuk terbang hanya membawanya jatuh lebih dalam.
And I'm sorry I left, but it was for the best
Though it never felt rightLirik itu semakin menghantam Min-ji, mengingatkannya akan malam kelam itu, saat udara terasa berat oleh aroma kesedihan dan penyesalan. Min-ji, masih dengan piyama bergambar beruang kecilnya, berdiri di ambang pintu kamarnya. Matanya yang sembab menatap punggung ayahnya yang sedang mengemas koper.
"Papa..." suaranya yang kecil nyaris tak terdengar.
Ayahnya berhenti sejenak, bahunya menegang sebelum ia berbalik. Matanya, yang dulu selalu penuh kehangatan, kini tampak kosong dan lelah.
"Min-ji, kamu harusnya sudah tidur." Min-ji berlari, memeluk kaki ayahnya erat-erat. Air matanya membasahi celana panjang sang ayah. "Papa, jangan pergi," isaknya, suaranya pecah oleh emosi yang terlalu besar untuk tubuh kecilnya. "Aku janji akan jadi anak baik. Aku janji tidak akan nakal lagi. Aku akan bantu Papa dan Mama beres-beres. Aku akan dapat nilai bagus di sekolah. Tapi tolong... jangan tinggalkan aku, Pa..."
Ayahnya berlutut, menyamakan tingginya dengan Min-ji. Tangannya yang kasar mengusap lembut pipi putrinya, menghapus air mata yang tak kunjung berhenti.
"Kalau aku anak baik, kenapa Papa harus pergi?" Min-ji terisak, tangannya mencengkeram erat baju ayahnya.
Ayahnya menarik nafas dalam, berusaha menahan air matanya sendiri. "Karena kadang-kadang, meskipun kita saling menyayangi, kita perlu berpisah untuk menjadi lebih baik. Papa akan selalu menyayangimu, Min-ji. Selalu."
Ia memeluk Min-ji erat, seolah ingin menyimpan kehangatan putrinya untuk terakhir kali. Lalu, dengan gerakan yang terasa menyakitkan, ia melepaskan pelukan itu.
Min-ji jatuh terduduk, tangannya terulur ke arah pintu yang tertutup. "Papa..." bisiknya lirih, air matanya jatuh tanpa henti. Di luar, hujan mulai turun, seolah langit pun menangisi kepergian ayahnya dan kehancuran dunia kecil Min-ji.Hari-hari berlalu dalam kelabu. Min-ji belajar menjadi tak terlihat, berjinjit di antara pecahan gelas dan harapan yang hancur. Suatu malam, ia memberanikan diri keluar kamar, mendapati ibunya terisak di meja makan.
"Ibu, aku dapat nilai sempurna lagi," Min-ji berkata pelan, menyodorkan kertas ujiannya.
Ibunya menatap kosong, "Bagus. Setidaknya kau tidak sebodoh ayahmu."
Kata-kata itu menusuk hati Min-ji kecil. Ia mundur perlahan, kembali ke kamarnya yang sunyi. Di sana, ia berbisik pada dirinya sendiri, "Suatu hari nanti, aku akan membuktikan pada mereka bahwa aku lebih dari sekedar alasan pertengkaran."Kafe mulai ramai. Min-ji bergegas ke balik konter, kembali mengenakan topeng profesionalnya. Senyum ramah yang tak mencapai matanya, sapaan hangat yang terasa dingin di lidahnya, secangkir kopi yang disajikan dengan sempurna namun terasa hambar baginya. Tak ada yang tahu bahwa di balik semua itu, ada jiwa yang menjerit dalam kesunyian, memohon untuk didengar, untuk dilihat.
"Satu Americano, tanpa gula," suara lembut seorang gadis memecah lamunannya.
Min-ji mendongak, bertemu pandang dengan sepasang mata cokelat yang bersinar penuh kreativitas. Gadis itu tersenyum hangat, ada noda cat di ujung jarinya yang lentik. Rambutnya yang panjang tergerai indah, sedikit berantakan namun justru membuatnya terlihat semakin menarik.
"Baik, sebentar ya," Min-ji membalas dengan senyum profesional, berusaha menyembunyikan rasa iri yang tiba-tiba muncul.
Saat ia menyiapkan pesanan, pikirannya kembali melayang. Ke rumah yang tak pernah terasa seperti rumah. Ke argumen-argumen yang tak pernah berakhir. Ke air mata yang ia tumpahkan diam-diam di kamar mandi sekolah, jauh dari tatapan kasihan teman-temannya. Ke malam-malam di mana ia memeluk lututnya erat, berbisik pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, semua akan baik-baik saja.
Did you get enough love?
Tidak, ia tidak pernah mendapatkan cukup cinta. Bahkan saat orang tuanya masih bersama, cinta selalu terasa seperti barang langka di rumahnya. Lalu perceraian itu terjadi, dan dunianya hancur berkeping-keping. Setiap kepingan menggores jiwanya, meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
"Maaf, boleh saya duduk di sini?"
Min-ji tersentak dari lamunannya. Gadis dengan noda cat di jari itu berdiri di hadapannya, menunjuk kursi kosong di depannya. Kafe sudah penuh, dan entah sejak kapan shift-nya sudah berakhir.
Ia mengangguk canggung, "Tentu."
Gadis itu duduk, membuka buku sketsa di hadapannya. "Saya Hae-won, mahasiswi DKV semester akhir," ia memperkenalkan diri dengan senyum yang begitu cerah, kontras dengan kegelapan yang Min-ji rasakan dalam hatinya.
"Min-ji," ia membalas pelan, merasa semakin kecil dan tak berarti di hadapan gadis yang begitu bersinar ini.
Hae-won mulai menggoreskan pensilnya di atas kertas, sesekali melirik ke arah Min-ji. "Maaf kalau lancang, tapi... boleh saya melukis Anda?"
Min-ji tertegun, rasa tidak percaya diri semakin menguasainya. "Saya? Tapi... saya tidak cantik atau menarik... tidak seperti Anda."
Hae-won tersenyum lembut, "Kecantikan bukan hanya tentang fitur wajah, Min-ji-ssi. Ada kisah di balik mata Anda, ada kekuatan di balik senyum Anda yang lelah. Ada keindahan dalam kesedihan Anda. Itulah yang ingin saya tangkap."
Untuk pertama kalinya sejak ia bisa mengingat, Min-ji merasa dilihat. Bukan sebagai anak broken home yang selalu berusaha sempurna. Bukan sebagai barista yang harus selalu tersenyum. Tapi sebagai dirinya, dengan segala luka dan kekuatannya. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah.
My little dove, why do you cry? bisikan itu kembali terdengar dalam benaknya. Kali ini, ia menangis bukan hanya karena sedih, tapi juga karena akhirnya ada seseorang yang melihat menembus topengnya, yang melihat keindahan dalam kehancurannya.
Hae-won menunjukkan hasil sketsanya, membuat Min-ji tertegun. Di atas kertas itu, ia melihat dirinya yang sesungguhnya. Rapuh namun kuat, terluka namun bertahan. Setiap goresan pensil seolah menceritakan kisah perjuangannya, setiap bayang-bayang menggambarkan kedalaman jiwanya.
Did you get enough love? pertanyaan itu kembali bergema. Mungkin tidak, mungkin ia tidak pernah mendapat cukup cinta. Tapi malam itu, di kafe yang ramai namun terasa begitu intim, Min-ji merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, masih ada harapan untuk mendapatkan cinta yang cukup. Mulai dari belajar mencintai dirinya sendiri, dengan segala kekurangan dan luka yang ia miliki.
Saat Hae-won pamit pergi, meninggalkan sketsa mahakarya itu untuk Min-ji, ada setitik cahaya yang mulai bersinar dalam kegelapan hatinya. Mungkin ini adalah awal dari perjalanan panjang untuk menyembuhkan luka-lukanya, untuk menemukan kembali sayapnya yang patah, dan untuk akhirnya belajar terbang lagi.
