Hujan turun dengan lembut, bagai bisikan alam yang menenangkan jiwa yang gelisah. Min-ji dan Jae-hyun duduk berdampingan di halte bus, tubuh mereka sedikit basah oleh air hujan yang sempat mengguyur. Aroma petrichor - bau khas tanah setelah hujan - menguar di udara, menciptakan atmosfer nostalgia yang tak terkatakan.
Min-ji merogoh tasnya yang setengah basah, mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi. "Jae-hyun," ujarnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam deru hujan, "aku ingin membahas sesuatu."
Jae-hyun menoleh, alisnya terangkat penuh tanya. "Tentang apa, Min-ji?"
Min-ji membuka lipatan kertas itu dengan hati-hati, seolah ia sedang memegang artefak berharga dari masa lalu. "Puisi ini," katanya, "puisi yang kau tulis untuk seseorang yang kau kagumi. Aku... aku ingin tahu lebih banyak tentangnya."
Jae-hyun tersentak, matanya melebar kaget. Ia tidak menyangka Min-ji akan mengangkat topik ini, apalagi di saat seperti ini. "Min-ji, aku..."
"Mengapa kalian tidak bisa bersama, Jae-hyun?" potong Min-ji, matanya menatap lurus ke depan, menghindari tatapan Jae-hyun.
"Puisi ini... begitu dalam, begitu penuh perasaan. Orang yang kau tulis ini, pastilah sangat berarti bagimu."Dalam kanvas semesta yang terbentang luas,
Kau bagai aurora yang menari di cakrawala hatiku.
Setiap gerak lembutmu melukis enigma,
Membuatku terpaku, terpesona namun juga gundah gulana.Perasaan ini ibarat simfoni musim semi yang rumit,
Setiap notanya bergema, membelai sekaligus melukai.
Aku, sang komposer yang kehilangan arah melodi,
Tersesat dalam alunan yang kuciptakan sendiri.Matamu, samudera dalam penuh misteri,
Mengundangku menyelam, namun takut terhanyut selamanya.
Senyummu mentari pagi yang menghangatkan jiwa beku,
Tapi juga kilat yang membakar, meninggalkan abu keragu-raguan.Jemarimu laksana sulur mawar yang merambat di relung kalbu,
Indah memesona, namun duri-durinya menusuk penuh tanya.
Haruskah kupetik bunga cinta ini dan kusimpan di hati?
Ataukah kubiarkan ia mekar, namun tak terjamah selamanya?Kau adalah puisi yang belum selesai kutulis,
Setiap baitnya penuh metafora yang tak terpecahkan.
Aku, sang pujangga yang kehilangan kata-kata,
Mencari makna di antara awan-awan ketidakpastian.Mungkin cinta ini bagai nebula di angkasa raya,
Indah dipandang mata, namun tak terjangkau genggaman.
Atau mungkin kau adalah bintang jatuh dalam hidupku,
Yang hanya bisa kuharapkan dalam diam, tanpa pernah kumiliki.Di antara realita dan angan, aku terombang-ambing,
Bagai kapal tanpa nahkoda di lautan perasaan.
Akankah kutemukan pelabuhan dalam dirimu?
Atau tetap mengembara, mencari makna cinta yang sejati?Jae-hyun terdiam, matanya menerawang jauh. Hujan di luar semakin deras, menciptakan tirai air yang seolah memisahkan mereka dari dunia luar. Dalam keheningan yang mencekam itu, ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang semakin cepat.
"Min-ji," akhirnya Jae-hyun bersuara, "ada kalanya, perasaan yang kita miliki terlalu rumit untuk dijelaskan. Seperti lukisan abstrak yang sulit dimengerti, atau seperti simfoni yang terdiri dari berbagai nada yang saling bertentangan."
Min-ji menoleh, matanya bertemu dengan mata Jae-hyun. Ada kebingungan yang terpancar jelas di sana, bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam - mungkin harapan, mungkin juga ketakutan.
"Tapi bukankah cinta seharusnya sederhana? Bukankah ketika kita mencintai seseorang, kita akan tahu dengan pasti?"
Jae-hyun tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Ah, Min-ji. Andai saja hidup semudah itu. Terkadang, cinta bisa menjadi labirin yang membingungkan. Kita masuk ke dalamnya dengan keyakinan penuh, namun semakin jauh kita melangkah, semakin kita tersesat."