Musim dingin memeluk Seoul dengan keanggunan yang menggigit. Kristal-kristal es menempel di jendela-jendela kafe sekitar kampus, menciptakan fraktal-fraktal memukau yang berkilauan di bawah cahaya temaram. Jae-hyun duduk di sudut terjauh, jemarinya yang pucat memeluk secangkir americano yang mengepul, seolah mencari kehangatan dari uap kopi yang menguar. Laptop terbuka di hadapannya, layarnya memantulkan cahaya lembut, menciptakan aura kebiruan yang kontras dengan kehangatan amber lampu-lampu gantung kafe.
The world outside is a monochrome painting, but in here, stories bloom in vibrant hues.
Lonceng pintu berdenting lembut, melodinya berpadu dengan alunan jazz yang mengalun pelan dari speaker tersembunyi. Jae-hyun mengangkat wajah, dan seketika itu juga, matanya bertemu dengan Sung-min yang baru saja masuk. Ada momen singkat ketika waktu seolah membeku, sedingin udara di luar sana, namun sehangat degup jantung Jae-hyun yang tiba-tiba berpacu.
Sung-min mengangguk sopan, senyum tipis terukir di wajahnya yang kemerahan akibat angin musim dingin. Pipinya yang bersemu merah kontras dengan syal biru tua yang melilit lehernya. Jae-hyun membalas dengan anggukan canggung, jemarinya tanpa sadar mengerat di sekeliling cangkir kopinya.
What do you say to someone who feels like a stranger and a reflection at the same time?
Aroma rich espresso dan butter croissant menguar di udara, bercampur dengan wangi parfum musim dingin - perpaduan kayu cedar dan vanila - serta aroma kayu bakar dari perapian kecil di sudut kafe. Melodi 'White Christmas' mengalun lembut, menciptakan atmosfer nostalgia yang menenangkan.
Jae-hyun kembali menunduk, berusaha fokus pada layar laptopnya. Jemarinya mulai menari di atas keyboard, menciptakan dunia baru dalam blognya. Kali ini, ia menulis tentang dua bintang di galaksi yang berbeda. Begitu dekat saat dilihat dari Bumi, menciptakan ilusi kedekatan yang menipu mata teleskop, namun sebenarnya terpisah jutaan tahun cahaya. Mereka bersinar bersama dalam panorama langit malam, sebuah simfoni cahaya yang indah namun tak pernah benar-benar bersentuhan.
"Boleh aku duduk di sini?"
Suara Sung-min mengejutkan Jae-hyun, memecah konsentrasinya. Ia mendongak, mendapati Sung-min berdiri di samping mejanya dengan segelas latte art berbentuk pohon natal di tangan. Aroma vanila dan karamel menguar lembut dari cangkirnya.
"Te-tentu," Jae-hyun tergagap, cepat-cepat menggeser tasnya, menciptakan ruang di meja kecil itu.
Sung-min duduk, uap dari lattenya mengepul lembut, menari-nari di udara seperti hantu musim dingin yang transparan. "Sedang menulis lagi?" tanyanya, mengedikkan dagu ke arah laptop Jae-hyun. Matanya yang gelap memancarkan ketertarikan tulus.
Jae-hyun mengangguk pelan, jemarinya tanpa sadar memainkan ujung sweater wol-nya. "Ya, hanya... cerita pendek."
"Tentang apa?" Sung-min memiringkan kepalanya sedikit, gesture yang entah mengapa membuat Jae-hyun teringat akan burung robin yang sering hinggap di jendela kamarnya.
Jae-hyun ragu sejenak, matanya melirik layar laptop sebelum kembali ke Sung-min. "Tentang... bintang-bintang."
Sung-min tersenyum, ada kilat ketertarikan di matanya yang mengingatkan Jae-hyun pada kerlip bintang pertama di langit senja. "Menarik. Kau suka astronomi?"
"Tidak juga," Jae-hyun menggeleng, rambutnya yang lembut bergoyang pelan. "Hanya... suka membayangkan luasnya alam semesta. Bagaimana kita begitu kecil namun juga bagian dari sesuatu yang begitu besar."
Mereka terdiam sejenak, momen itu terasa seperti jeda dalam simfoni yang sedang dimainkan. Di luar, salju mulai turun lagi, butiran-butiran putih yang lembut menari-nari di udara, menciptakan tirai putih yang memisahkan dunia dalam kafe yang hangat dengan dunia luar yang dingin dan sunyi.
![](https://img.wattpad.com/cover/371642229-288-k448875.jpg)