Senja merangkak perlahan di langit Seoul, melukis kanvas langit dengan gradasi warna yang memukau - jingga keemasan yang perlahan berubah menjadi ungu kemerahan, seolah langit sedang mengucapkan selamat tinggal pada hari dengan cara yang paling memesona. Min-ji dan Jae-hyun berjalan beriringan di tepi Sungai Han, kaki mereka menyusuri jalur setapak yang dihiasi dedaunan musim gugur.
Angin sepoi-sepoi membawa aroma khas musim gugur - campuran antara kesegaran udara dan kelembaban tanah yang menenangkan. Daun-daun mapel yang berguguran menari-nari di udara, menciptakan hujan keemasan yang indah namun sendu, mengingatkan pada keindahan yang fana.
Min-ji menghentikan langkahnya, matanya terpaku pada sehelai daun mapel yang jatuh ke telapak tangannya. Warnanya merah kecokelatan, dengan urat-urat halus yang membentuk pola rumit. "Indah ya," gumamnya pelan, "tapi, sedih juga. Sebentar lagi daun ini akan layu, hancur menjadi debu."
Jae-hyun menatap Min-ji lekat-lekat, menangkap kesedihan yang terpancar dari mata gadis itu. "Tapi bukankah itu yang membuatnya istimewa, Min-ji? Keindahannya yang sementara justru membuatnya lebih berharga."
Min-ji tersenyum tipis, matanya masih menatap daun di tangannya. "Seperti kenangan dengan orang-orang yang tidak lagi bersama dengan kita, ya? Menyakitkan, tapi berharga."
Jae-hyun mengangguk, tangannya perlahan meraih tangan Min-ji yang tidak memegang daun.
"Min-ji, aku punya ide. Mungkin ini terdengar konyol, tapi... bagaimana kalau kau menulis surat untuk dia? Tulis semua yang ingin kau katakan, semua perasaanmu yang terpendam. Lalu kita masukkan ke dalam botol dan lepaskan di sungai ini."Min-ji mengangkat alisnya, terkejut dengan usulan Jae-hyun.
"Tapi... apa gunanya? Dia tidak akan pernah membacanya."
Jae-hyun tersenyum lembut, "Mungkin bukan tentang dia membacanya atau tidak, Min-ji. Tapi tentang kau yang akhirnya berani mengungkapkan, melepaskan. Seperti daun mapel ini - kita melepasnya, membiarkannya pergi dengan segala keindahannya."Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Min-ji. Ia mengangguk pelan, "Baiklah. Ayo kita lakukan."
Mereka membeli sebuah postcard dari sebuah toko suvenir kecil di dekat sungai. Postcardnya bergambar Sungai Han di malam hari, dengan jembatan Banpo yang dihiasi lampu-lampu warna-warni. Min-ji memilihnya dengan hati-hati, seolah memilih kata-kata yang akan ia tulis.Di sebuah bangku kayu tua yang menghadap sungai, Min-ji mulai menulis. Tangannya gemetar, setiap kata yang ia tulis seolah membawa serta serpihan hatinya. Jae-hyun duduk di sampingnya dalam diam, memberikan dukungan tanpa kata.
Untuk dia yang masih kusimpan dalam relung hatiku terdalam,
Di tepi Sungai Han yang berkilau ditimpa senja, aku menulis ini untukmu. Setiap goresan pena terasa bagai menggores luka lama, membuka kembali kenangan-kenangan yang kucoba kubur dalam-dalam.
Apa kabarmu? Masihkah kau menikmati segelas susu di pagi hari sambil membaca buku favoritmu? Masihkah kau tertawa ketika mendengar lelucon receh yang dulu selalu membuatku memutar bola mata?
Aku ingin kau tahu, bahwa setiap langkah yang kuambil sejak hari itu terasa berat. Seolah sebagian diriku tertinggal bersamamu, terjebak dalam ruang dan waktu yang tak bisa kugapai lagi.
Tapi hari ini, di bawah langit Seoul yang mulai dipenuhi bintang, aku belajar untuk melepaskan. Bukan karena aku tidak lagi mencintaimu, tapi justru karena aku terlalu mencintaimu untuk terus menjadikanmu penjara bagi hatiku.
Kuharap kau bahagia, di mana pun kau berada. Kuharap kau masih mengejar mimpi-mimpimu dengan semangat yang sama seperti dulu. Dan jika suatu hari nanti takdir mempertemukan kita kembali, entah di jalanan Edinburgh yang pernah kita impikan atau di sudut Seoul yang tak terduga, kuharap kita bisa saling menatap dan berbisik,
"Syukurlah, kita baik-baik saja."
Selamanya kau dalam ingatanku,
Min-jiAir mata Min-ji jatuh membasahi postcard itu, membuat beberapa huruf sedikit luntur. Namun ia tidak peduli. Ini adalah air mata terakhirnya untuk cinta yang kini harus ia lepaskan.
Jae-hyun mengulurkan sebuah botol kaca bening yang telah ia bersihkan. Dengan tangan gemetar, Min-ji memasukkan postcard itu ke dalam botol. Jae-hyun menutupnya rapat, memastikan air tidak akan merusaknya.Mereka berjalan ke tepi sungai, kaki telanjang mereka merasakan dinginnya air yang menyapu. Langit semakin gelap, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, menciptakan pemandangan yang seolah keluar dari lukisan impresionisme.
"Kau siap?" tanya Jae-hyun lembut.
Min-ji mengangguk, matanya menatap lurus ke depan. Ia mengangkat botol itu, mendekapnya ke dada untuk terakhir kali sebelum akhirnya melepaskannya ke air.
Botol itu mengambang perlahan, dibawa arus sungai yang tenang. Min-ji dan Jae-hyun menatapnya hingga botol itu menghilang dari pandangan, tertelan kegelapan malam yang semakin pekat.
"Selamat tinggal," bisik Min-ji lirih, entah pada botol itu atau pada masa lalunya.
Min-ji dan Jae-hyun melanjutkan perjalanan mereka menyusuri tepi Sungai Han. Langkah mereka ringan, seolah beban berat telah terangkat dari pundak mereka.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Jae-hyun lembut.
Min-ji terdiam sejenak, matanya menerawang jauh ke horizon. "Entahlah," jawabnya jujur. "Ada rasa lega, tapi juga ada kehampaan. Seperti... seperti aku baru saja melepaskan bagian penting dari diriku."
Tepat saat itu, sebuah bus berhenti di depan halte, memecah momen di antara mereka. Pintu bus terbuka, menunggu penumpang yang mungkin akan naik.
Min-ji dan Jae-hyun terdiam, matanya masih terkunci satu sama lain. Ada begitu banyak hal yang ingin mereka katakan, namun tak ada kata-kata yang terucap.
"Apa kalian akan naik?" tanya sopir bus, memecah keheningan di antara mereka.
Min-ji menoleh ke arah bus, lalu kembali menatap Jae-hyun. Ada kebimbangan yang terpancar jelas di matanya.
Sementara itu, takdir seringkali punya rencana yang tak terduga. Botol yang berisi postcard Min-ji terbawa arus sungai, melewati berbagai hambatan. Ia tersangkut di antara akar-akar pohon yang mencuat ke sungai, nyaris pecah saat menabrak batu-batu besar, namun selalu berhasil lolos.
Hingga suatu malam, di tengah badai yang mengguncang kota, botol itu terhempas ke tepi sungai. Ia tergeletak di sana, setengah terbenam dalam lumpur, nyaris tak terlihat di antara sampah-sampah yang terbawa arus. Postcard di dalamnya, yang sarat dengan perasaan dan kenangan, mungkinkah tak pernah sampai ke tangan yang dituju? Ia tetap tersegel dalam botol kaca, menjadi saksi bisu dari cinta yang mungkin tak tersampaikan.
Akankah suatu hari nanti botol itu ditemukan? Ataukah ia akan tetap tersembunyi selamanya, menjadi saksi bisu dari cinta yang pernah ada namun tak bisa bertahan?