Bab 4: Senyummu adalah Maut

12 4 2
                                    

Wajah Anika benar-benar merah, semerah kepiting rebus. Ungkapan Satria benar-benar membuat dirinya salah tingkah. Harus perempuan akui, jika kehadiran Satria pada sesi latihan menjadi suplemen penyemangatnya. Tetapi, tidak seharusnya Anika mengakui hal itu sekarang. Ia harus bertingkah seperti wanita yang harus dihormati pria.

Kalau kepepet, baru aku jadi cegil, batin Anika.

Perempuan itu berusaha menangkap udara sebanyak-banyaknya, sebab ia merasa atmosfer di sekitarnya kekurangan oksigen setelah mendengar pernyataan Satria. Entah itu pernyataan atau gombalan gila.

“Jadi? Masih muak dan bosan?” tanya Satria sekali lagi. Laki-laki itu masih saja menampilkan senyumannya yang sekarang tampak bodoh dari pandangan Anika.

“Kak, please deh. Oke, oke. Aku udah nggak muak, udah nggak bosen. Sekarang bisa kita latihan lagi?” balas Anika.

Perempuan itu memutar arah pembicaraan dan membelokkannya dengan tajam. Yang entah mengapa membuat Satria lupa dengan apa yang dikatakannya 5 menit yang lalu. Detik berikutnya, Satria menghilang dari hadapan Anika dan kembali bekerja sebagai pelatih.

Latihan, kembali dimulai. Anggota PASMAHBA yang mengikuti lomba PasKot melakukan berbagai gerakan variasi yang terlihat keren sekaligus berbahaya. Risiko dari formasi X Garuda sangatlah tinggi, cedera bisa terjadi kapanpun.

Namun, bukannya fokus dan berhati-hati dalam melakukan formasi, Anika malah banyak melamun. Fokus Anika terpecah, perempuan itu masih salah tingkah dengan ucapan Satria. Isi pikirannya diisi pertanyaan mengenai sikap Sang Komandan.

Kenapa Kak Satria bisa jadi begitu? Atau memang suka dari awal? Kalau iya, mimpiku waktu itu bisa jadi kenyataan dong. Wow. Apa aku masukkan Kak Satria ke status crush? Gebetan? batin Anika.

Tanpa Anika sadari, pijakannya goyah. Perempuan itu merasa seseorang menjagal kakinya. Kejadian itu sangatlah cepat, saat Anika sadar ia sudah terjatuh dan merasakan nyeri di kaki kanannya. Pada akhirnya, formasi yang mereka lakukan menjadi berantakan.

“Kamu nggak papa, Anika? Kok bisa jatuh sih? Makanya jangan melamun! Fokus! Hilangkan semua pikiran yang mengganggu selama latihan!” bentak Bayu.

“Saya mohon maaf kak,” ujar Anika pelan.

Perempuan itu mengurut kakinya perlahan, rasa sakit tak dapat disangkal olehnya. Sesekali ia mendesis saat mengenai bagian yang terasa menonjol. Anika dapat mendengar helaan napas dari Bayu dan beberapa temannya. Kini perempuan itu benar-benar ingin menghilang dari sana.

Malu banget, sakit banget ini. Oiya! Kak Satria! Gimana tanggapan dia ya? Batin Anika.

Anika mengedarkan pandangannya, mencari sosok Satria. Saat matanya menangkap sosok Satria, perempuan itu malah melihat Sang Komandan tersenyum. Bukan raut marah atau kecewa karena latihan tidak berjalan lancar. Satria malah mengangkat jempolnya dan mengatakan ‘semangat’ tanpa bersuara.


***


Latihan di hari Rabu yang terik itu berakhir. Katanya para pelatih akan mendiskusikan lagi mengenai formasi X Garuda yang sangat gila itu. Anika berjalan tertatih-tatih menuju kelasnya. Perempuan itu beranggapan jikalau kakinya terkilir dan bukan masalah besar.

Di depan Anika, terdapat beberapa anggota PASMAHBA kelas X yang ingin kembali ke kelas masing-masing. Anika tidak bisa menyamai langkah kaki teman-teman saya sebab kakinya sakit. Tetapi perempuan itu masih bisa mendengar dengan jelas apa yang teman-temannya katakan.

“Harusnya tuh, aku yang jadi center! Bukan Anika,” ujar Syafira.

“Bener sih, dia terlalu tinggi untuk ada di atas. Harusnya kamu yang di atas, Syaf. Soalnya kamu pendek!” balas Adhi.

“Ngejek?” tanya Syafira tak terima.

Belum sempat di jawab oleh Adhi, Mela menyambar pembicaraan, “tapi aku setuju sih. Kamu harusnya yang jadi center Syaf. Kamu itu mudah untuk menarik perhatian orang. Sedangkan dia? Pendiem dan introver, maybe?”

“Hush! Orangnya denger tuh!” ujar Nita.

Menyadari hal tersebut, orang-orang itu mempercepat langkahnya. Meninggalkan Anika yang berjalan tertatih-tatih.

Aku juga nggak mau tuh jadi center! Tapi ‘kan dipilih sama kakak kelas, mana bisa nolak batin Anika.

Perempuan itu terus menggerutu di sepanjang langkahnya. Anika butuh waktu lima belas menit untuk sampai di kelasnya. Sangat lama dibandingkan hari-hari biasanya yang hanya 1 atau 2 menit. Saat perempuan itu masuk ke kelas, kelasnya kosong.

“Ah ... fisika, ke lab mungkin?” gumam Anika.

Sambil duduk di atas kursinya, Anika memakai seragam kotak-kotak SMA Harapan Bangsa dengan cekatan. Lantas ia mengambil beberapa buku dan alat tulis, sejenak ia mengambil napas.
Laboratorium fisika terletak di lantai dua. Ada di atas kelas X-9. Hal tersebut cukup menghambat pergerakan Anika yang terkilir kakinya. Perempuan itu harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk sampai di lantai dua.

Bermenit-menit Anika berusaha untuk sampai di lantai dua. Tersisa anak tangga lagi, perempuan itu sempat diam sejenak, posisi badannya bungkuk seperti orang rukuk. Tangannya bertumpu pada pegangan tangga. Tetapi, entah dari mana datangnya, sebuah tangan mendorong tubuh ringan Anika hingga terjatuh ke bawah.

Suara hantaman terdengar sangat keras, menggema di koridor kelas X. Kepala Anika sampai di lantai dasar terlebih dahulu. Punggungnya menghantam setiap anak tangga yang ada. Remuk, perempuan itu merasa seluruh tubuhnya sangat sakit. Kepalanya berdenyut-denyut, dunia seakan berputar dalam pandangannya.

“Aghhhh! Sakit banget!” keluh Anika.

Air matanya mengalir tanpa sadar. Napasnya memberat. Perempuan itu tidak sanggup untuk sekedar bangkit. Tidak ada yang menolongnya, sebab jam pelajaran belum berakhir. Tak ingin putus asa dan dengan sisa tenaga yang ada, Anika berusaha bangkit.

“Kok ....”

Anika tertegun, ia terdiam selama beberapa detik. Perempuan itu tidak bisa merasakan ... kakinya sendiri. Ia tidak bisa menggerakkan kakinya.


***


Saat sadar Anika sudah berada di rumah sakit. Bau obat yang menyengat menusuk hidungnya membuat perempuan itu tidak nyaman. Tetapi, ada satu objek yang mengalihkan perhatiannya dari bau obat itu. Yakni sosok Satria yang masih mengenakan seragam olahraga dan tampaknya laki-laki itu tertidur, kepalanya bersandar pada brankar Anika.

Melihat itu Anika hanya bisa diam. Satria terlihat lucu saat ia tertidur, itu anggapan Anika. Tangan perempuan itu sangat gatal untuk mengusap rambut Satria.

“Eh gila, aku mikir apa barusan?” gumam Anika.

Gumaman itu ternyata membangunkan Satria. Laki-laki itu tersenyum menatap Anika. Lantas ia berkata, “kamu nggak papa ‘kan? Masih ada yang sakit?”

“Ah, enggak kak. Aku baik-baik saja.”

Bohong. Anika sampai saat ini masih tidak bisa menggerakkan kakinya. Rasa nyeri menjalar di kaki kanannya itu. Sebagai topeng, Anika tersenyum lebar sembari tangannya terangkat ke udara.

“Baiklah. Tadi dokter mengobati luka di kepala dan punggungmu. Untuk jaga-jaga dokter tadi juga mengambil foto rontgen tubuhmu. Hasilnya akan keluar nanti malam,” ungkap Satria.

“Terima kasih ya kak. Sudah mengantarku ke rumah sakit. Oiya, bagaimana kakak bisa menemukan aku dan mengantarku ke mari?” tanya Anika.

“Oh ..., tadi aku melihat kakimu terkilir sepertinya. Tadinya mau ngasih obat tapi malah liat kamu pingsan di depan tangga,” balas Satria.

“Kak Satria memperhatikanku? Kok bisa tau kakiku terkilir?”

Satria tersenyum lagi dan Anika tidak tahan dengan senyumnya itu. Lama-lama Anika bisa diabetes karena senyuman laki-laki di hadapannya sangat manis.

“Iya dong, karena sepanjang latihan ... mataku hanya tertuju padamu,” ujar Satria dengan santai.

OKE FIKS DIA CRUSHKU SEKARANG!! teriak Anika dalam batinnya.

If You Have Crush On Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang