Bab 10: Satu Sendok Berdua

5 0 0
                                    

Hal yang mengesalkan bagi Anika tidak berhenti disana saja. Kini perempuan itu dibuat kesal dengan kakinya sendiri yang seakan meminta dirinya untuk berhenti bergerak. Anika merasa kakinya bak jelly yang kenyal dan lembek. Berkali-kali pijakan perempuan itu oleng. Untungnya tidak membuat dirinya jatuh. Jika jatuh, mungkin Anika benar-benar akan didepak dari tim.

Akhirnya Anika bertahan hingga latihan selesai. Perempuan itu meluruskan kakinya di pinggir lapangan. Sendiri, tanpa ada yang menemani di sekitarnya. Teman-temannya bergerombol di sisi lapangan yang lain, mengobrol dengan ceria bersama kakak-kakak pelatih. Itu tidak membuat Anika iri, ia masih sangat kesal dengan Syafira dan kakak-kakak pelatih yang memojokkan dirinya tadi.

Perempuan itu menghela napas dan sesekali mengurut kaki kanannya. Saat menekan pada salah satu titik, ia merasa seperti disetrum oleh kilat yang kuat. Membuat sekujur tubuhnya nyeri, sakit sekali.

Sebentar lagi jam istirahat, perempuan itu butuh makan siang. Tapi perempuan itu malas untuk sekedar berjalan menuju kelas. Mata  Anika menyorotkan kemarahan saat tanpa sengaja bertatapan dengan Syafira. Anika dapat melihat Syafira mencibir dan menertawakan dirinya, itu tak Anika pedulikan. Sampai gerombolan itu melewatinya, sekali lagi Syafira menendang kaki kanannya.

“Maksudku apa sih? Nggak waras? Fetis sama kakiku, Hah?” tanya Anika dengan emosi.

Syafira tertawa sejenak. Perempuan itu meminta teman-temannya untuk ke kantin terlebih dahulu. Meninggalkan dua orang perempuan di lapangan basket. Melihat itu, Anika hendak berdiri dan siap berdebat lagi dengan Syafira. Tetapi, orang gila dihadapannya tidak memberikan kesempatan untuk berdiri.

Syafira menjagal kaki Anika, sehingga Anika terjatuh. Kepala perempuan itu membentur lapangan basket dengan keras. Anika meringis untuk beberapa saat.

“Iya, aku nggak suka sama kamu. Harusnya posisi center itu buat aku!” teriak Syafira penuh emosi.

Syafira menunduk dan menjambak rambut hitam Anika. Syafira tersenyum miring, matanya menyorotkan kebencian yang teramat dalam. Tak terima mendapat perlakuan seperti itu, Anika membalas dengan menjambak rambut panjang Syafira.

“Stop jambak! Atau aku bakal bilang ke Kak Bayu, tentang kakimu yang patah itu. Unch, unch, sakit banget kan pasti,” ejek Syafira.

Syafira menampar pipi Anika hingga jambakan perempuan itu terhadap dirinya terlepas. Tak berhenti disitu, kaki Anika ia tendang sekali lagi hingga tubuhnya bergeser beberapa cm. Lantas, ia meninggalkan Anika yang keadaannya berantakan.

“Eugh, SYAFIRA SIALAN!” umpat Anika.

Anika marah, ia sangat marah. Momen dimana Syafira melakukan kekerasan terhadap dirinya sangatlah pas. Kakak kelas sudah tidak berada di lapangan, hanya ada mereka berdua. Ditambah posisi cctv di sekitar lapangan tidak menyoroti area Anika berada. Perempuan itu tak bisa berbuat banyak, kini ia hanya berharap ada orang yang mau membantunya membawakan makanan. Sebab Anika sudah sangat lapar. Tapi sepertinya nihil, semua orang sibuk di kantin untuk menuntaskan rasa lapar mereka. Tidak mungkin ada orang yang akan pergi ke lap—

Oh, sepertinya Anika berpikir terlalu cepat. Perempuan itu melihat sosok Satria yang melangkah menuju lapangan. Laki-laki itu belum melihatnya, sehingga Anika sempat merapikan dirinya agar tidak terlihat mengenaskan. Perempuan itu masih ingin meneruskan kebohongannya. Ia tidak mau kakinya yang patah ketahuan.

“Loh? Kamu masih disini, Anika?” tanya Satria.

“Iya kak, mager ke kelas. Capek, hehe,” balas Anika.

“Belum makan dong?”

“Belum, Kak. Omong-omong Kak Satria kenapa ke lapangan lagi?” tanya Anika penasaran.

“Ah ..., kunci motoku ketinggalan. Itu dia.”

Satria berjalan menuju ujung lapangan yang lain dan kembali lagi sambil membawa sebuah kunci. Laki-laki itu tersenyum manis sembari mengangkat kunci motornya. Ia berjalan sedikit berlari menuju tempat Anika duduk.

“Bentar. Jangan-jangan kemana-mana. Aku mau ambil kotak bekalku di jok motor dulu,” kata Satria.

“Baik, Kak.”

Kesempatan itu Anika gunakan untuk mencoba berdiri. Sempat ia oleng, tetapi ditahan sehingga bisa berdiri tegap kembali. Perempuan itu berjalan ke ujung lapangan lalu kembali lagi. Anika merasa kakinya sudah tidak terlalu sakit, ia sudah bisa berjalan untuk sementara ini. Ia juga sempat menggulung celana olahraganya hingga ke lutut, untuk mengecek keadaan kaki kanannya. Untung saja aman.

Lantas perempuan itu kembali meluruskan kakinya, seolah tidak terjadi apa-apa. 5 menit kemudian, Satria datang membawa totebag berwarna merah. Setelah dibuka, isinya ada dua kotak bekal. Laki-laki itu mencuci tangannya di kran air yang ada di lapangan, lalu menempatkan diri di samping Anika.

“Makan bareng yuk! Bantu abisin,” pinta Satria.

Wajah Anika sudah dipastikan semerah kepiting rebus. Ajakan laki-laki itu sangatlah diluar dugaan. Perempuan itu menerima suapan pertama dari Satria setelah dipaksa. Nasi ayam yang disuapkan oleh Satria, rasanya benar-benar enak sekali. Tapi, sedetik kemudian Anika tersadar, ‘ini gila’.

“Ehm, Kak? Biar aku suap aku sendiri, dan kakak suap kakak sendiri ...,” ujar Anika lirih.

“Ah ..., nggak papa, santai aja. Sekalian, aku suapin aja. Alat makannya juga cuma ada satu,” balas Satria sembari menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

EH! SATU SENDOK! ITU, ITU ... KITA .... batin Anika.

Anika membeku di tempat. Perempuan itu tidak menyangka dengan apa yang Satria lakukan.  Dia pasti sudah gila. Tapi, bukannya salah tingkah dengan apa yang dilakukannya, Satria malah tersenyum dan menikmati nasi ayam yang ia bawa.

Perempuan itu pasrah. Menerima setiap suapan dari Satria. Katakanlah Anika gila, tapi kalau laki-laki dihadapannya saja gila ... haruskah ia juga bersikap normal?

“Oiya, kamu seminggu nggak berangkat ... pasti tugasmu menumpuk banyak banget ya?” tanya Satria.

Anika menerima suapan terakhir dari Satria dan menelannya, lantas ia menjawab, “Iya ... nanti mau ku cicil.”

“Kalau gitu, ayo belajar bareng! Nanti malam! Aku jemput, kita belajar di perpustakaan kota,” ajak Satria.

Tak cukup membuat Anika salah tingkah dengan ide makan disuapi. Sekarang laki-laki di hadapannya mengajak dirinya untuk belajar bersama. Anika mulai curiga, jangan-jangan Satria menyukai dirinya.

Jangan-jangan ... Kak Satria nge-crushin aku. HAH OMG GILAK! Tenang-tenang. Tarik napas ..., batin Anika.

“Gimana? Mau nggak?”

“Boleh. Ayo, Kak,” ujar Anika dengan bahagianya.

Bekal yang dibawa Satria sudah ludes, tersisa buah-buahan yang segar. Kali ini, Anika cekatan. Ia mengambil buah itu sendiri sebelum disuapi oleh Satria. Perempuan itu tidak mau salah tingkah lebih lama.

Namun, ketika Anika hendak menyuap buah kedua, Satria membuka mulutnya dan berkata ‘aaa’. Dengan gemetaran, Anika memasukkan sepotong semangka ke mulut Satria. Anika banyak berharap hari ini, kali ini ia berharap tidak ada yang melihat romansa yang terjadi di lapangan basket siang itu.

“Oke, nanti malam aku jemput. Shareloc aja nanti.”

Setelah dibully tadi ... ternyata, HARI INI NGGAK BURUK JUGA! AHAHAHAHAH, Please. Jika Kak Satria nge-crushin aku beneran, ayo pacaran! Hehehehe, batin Anika.

If You Have Crush On Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang