Bab 9: Nyeri tapi Yaudah

5 0 0
                                    

Seminggu berlalu dengan cepat. Selama satu Minggu itu, Anika diam-diam melatih kakinya agar dapat berjalan, berlari dan melompat. Perempuan itu tidak memedulikan rasa nyeri yang muncul. Ia terus saja memaksa kakinya untuk bergerak bebas. Hal itu ia lakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang.

Kini latihan untuk lomba PasKot tidak akan terasa membosankan. Sebab Anika harus tetap fokus dengan kakinya yang masih disangga. Tidak ada seorang pun dari keluarganya tahu. Rencana Anika adalah datang paling pagi agar tidak ada orang yang melihat keadaannya, menitipkan tongkat jalannya di pos satpam, lalu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Diantar oleh papanya, Anika datang ke sekolah pukul 6 tepat. Yang mana, pada jam-jam tersebut ... SMA Harapan Bangsa masih sepi. Kegiatan Belajar Mengajar di SMA Harapan Bangsa baru dimulai pada pukul 8. Sehingga banyak siswanya yang datang saat mepet jam masuk.

Bye, bye, Pah! Hati-hati dijalan!” ujar Anika.

Begitu mobil Sang Papa berputar arah dan menghilang dari pandangan, Anika berjalan menuju pos satpam tanpa menggunakan tongkatnya, lalu menitipkan tongkat itu kepada satpam yang bertugas. Walau nyeri, perempuan itu memaksa kakinya untuk menyusuri jalan menuju kelasnya.

Ini baru jalan kaki, kalau latihan nanti pasti ada lari. Yang paling deg-degan itu saat formasi, apa aku sanggup melakukannya? batin Anika.

Pagi itu adalah kali pertama perempuan itu berangkat sepagi ini. Anika baru tahu jika setiap pagi, rumput di lapangan utama selalu dipangkas dengan mesin sehingga selalu rapi. Udara di sekolahnya juga masih sangat segar, membuat kekhawatiran Anika sirna untuk sejenak.

Saat kakinya memasuki kelas, Anika disambut seseorang yang duduk di kursinya. Orang itu tampak berkutat dengan berlembar-lembar kertas, sesekali orang itu menggaruk kepalanya.

“Loh? Yan? Pagi banget datengnya,” sapa Anika.

Ian menoleh ke arah Anika. Mata laki-laki itu memicing untuk sejenak, kedua tangannya mengucek mata selama beberapa detik.

“Tumben pagi-pagi, Anika,” balas Ian.

“Lagi pengen berangkat pagi, Yan.”

Ian mengangguk, laki-laki itu pindah ke kursinya sendiri dan menyingkirkan kertas-kertas yang ada di meja Anika. Lantas Ian mempersilahkan Anika untuk duduk di kursi. Kedua insan berbeda gender itu mulai sibuk sendiri-sendiri. Ian kembali mengerjakan tugas dan Anika sibuk menatap ponsel sambil tersenyum geli.

“Ih, senyum-senyum sendiri,” ujar Ian yang melihat raut wajah Anika.

“Suka-suka,”—Anika meletakkan ponselnya dan menatap kertas-kertas di meja Ian—“kamu ngerjain apa sih? Kok banyak banget? Tugas?”

“Iya, tugas fisika. Pak Dedi ngeri kalau ngasih tugas. Kamu sih nggak pernah ada di kelas jadi nggak tau,” balas Ian.

“Hehe. Minta list tugas selama seminggu ini dong. Tau sendiri ‘kan aku nggak berangkat,” kata Anika.

“Loh? Kamu nggak berangkat? Kukira memang latihan lomba PasKot, tapi nggak bawa tas ke kelas. Memangnya selama seminggu nggak masuk, kamu kenapa?” tanya Ian sembari menyerahkan lima sticky notes warna-warni.

“Sakit. Masuk RS,” balas Anika seadanya.

“Ih ngerinya ... udah tuh ya, tugasnya kerjain. Mamam tuh tugas sebejibun. Oiya, utamakan tugas MTK dulu, Bu Lala minta besok dikumpul.”

“Syap, bos!”

Anika bersyukur, Ian tak bertanya perihal dirinya sakit apa. Perempuan itu bersyukur, ia tidak perlu menambah dosa dengan berbohong kepada orang-orang. Tetapi, detik berikutnya Anika menghela napas saat melihat tugasnya yang sangat banyak. Ia harus mengejar ketertinggalannya.

If You Have Crush On Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang