Prolog

7 0 0
                                    

            Entah kenapa orang-orang sekarang senang dengan hal-hal yang merepotkan. Dua hari lalu ditemukan mayat seorang gadis yang diduga bunuh diri dengan menelan racun di sebuah hotel. Orang-orang di sekitar beramai-ramai datang hanya untuk menjadikan foto garis polisi yang terpasang di lokasi sebagai santapan media sosial. Padahal mereka bisa memilih diam di rumah, menjauhi potensi terlibat, seperti tamu-tamu hotel yang memutuskan check-out secara tiba-tiba dan pulang ke daerahnya masing-masing. Bahkan mungkin hotel tersebut masih menjalani operational shift yang memungkinkan manajer dan karyawan yang diinterogasi polisi hari ini hanyalah yang tidak tahu apa-apa tentang kejadian. Tren menutup kamera tersembunyi kamar hotel yang tersebar di internet juga memperbesar kemungkinan barang bukti rekaman kejadian sulit ditemukan.

            Ah, belakangan ini cuacanya memang sering mendung, kadang juga berkabut mirip seperti suasana adegan pemakaman di film-film Barat. Padahal pemakaman bahkan bisa terjadi di musim semi, di bawah guguran bunga-bunga. Tetapi adegan pemakaman di film justru membuat cuaca seperti ini membangkitkan keinginan orang yang putus asa untuk mati dan orang-orang harus repot-repot menembus badai demi bertemu dengan mereka untuk terakhir kali. Meskipun demikian, karena orang-orang senang dengan hal-hal merepotkan, para pelayat itu mungkin akan berpikir bahwa dirinya adalah orang yang memiliki dedikasi terhebat bagi si mayat. Rela menerjang hal yang tidak mereka sukai hanya demi melihat sesuatu yang sudah mati dan sebenarnya tidak tahu mereka datang atau tidak.

            Pakaian yang dijemur juga belum kering. Padahal pakaian itu sudah digantung di sana sebelum gadis itu bunuh diri. Meskipun cuaca tidak mendukung, aku memutuskan untuk tetap menjemurnya seperti biasa. Tidak ada alasan bagi pakaian yang digantung tersebut untuk tidak kering meskipun keringnya itu entah kapan. Mungkin setelah cuaca cerah, entahlah, lagipula aku sudah lama tidak berinteraksi dengan orang lain setelah lebih dari tiga bulan mengundurkan diri dari pekerjaanku sebagai laboran dan memilih mencari uang dengan berjualan aset tak benda di internet. Aku juga tidak perlu datang ke pemakaman gadis itu, jadi untuk apa juga memburu-buru pakaian untuk cepat kering.

            Ya, hidup dalam kesendirian seperti ini ternyata tidak mengerikan. Malah lebih menenangkan karena aku tidak harus menaruh kepercayaan pada siapa pun kecuali pada kepalaku sendiri. Bagian tubuh paling egois yang selalu menganggap semua isinya adalah hal yang baik untuk dirinya, sekalipun dia juga menganggap semua orang akan memprotesnya jika isinya itu diungkapkan. Tidak banyak yang harus aku lakukan karena tidak ada yang menuntutku untuk melakukan ini itu selain diriku sendiri—dan pemerintah, karena aku masih menjadi warga negara.

            Oh, sepertinya ada satu jemuran yang terjatuh karena tertiup angin. Celana olahraga sekolah SMU ku. Setelah diraba-raba sudah sedikit kering. Akan kugunakan besok. Tidak ada yang menuntutku untuk tidak menggunakannya meskipun usianya sudah lebih dari sepuluh tahun, jadi akan tetap aku gunakan selama masih layak. Padahal mereka bisa diam saja, tapi malah memilih melakukan hal yang merepotkan dengan menyampaikan pendapat. Bahkan ada yang sampai mengatakan “jika tidak punya uang biar aku belikan.” Mungkin begitu cara berpikir orang optimis yang mengira dirinya bisa membuat lingkungan sekitarnya menjadi lebih baik dengan tindakannya dan menganggap orang yang diam saja itu tidak punya mimpi yang berarti.

            Terkadang antara optimis dan putus asa bedanya sangat tipis. Aku juga optimis pakaianku akan kering di jemuran semi terbuka. Tapi orang-orang yang melihatku melakukannya mungkin akan menganggapku bodoh, malas, atau putus asa karena tidak membawanya ke tukang binatu untuk dikeringkan menggunakan mesin. Jika orang yang optimis punya mimpi yang mereka yakin bisa wujudkan, orang yang putus asa juga punya mimpi yang mereka yakin bisa wujudkan. Gadis itu pun punya mimpi. Mimpinya adalah untuk mati. Keinginannya itu bahkan lebih kuat dari keinginan kebanyakan orang-orang optimis yang jadi setengah-setengah mengejar mimpinya karena mereka yakin akan berhasil.

       “Chin ! *)” Ah, ramenku sudah siap. Aku suka ramen instan seperti ini. Meskipun hobi memasak, tapi aku tetap suka makan mie instan. Kadang ditambah topping aneh-aneh yang mesti dimasak lebih lama dari memasak ramen itu sendiri. Ya, bukan karena instannya, aku suka ramen instan karena rasanya. Toh, aku juga tidak ada kesibukan apa pun yang membuatku menyukai sesuatu yang instan. Aku menikmati proses memasak yang berjam-jam, melukis yang berhari-hari. Tapi kalau menanam yang berbulan-bulan aku sudah tidak sanggup. Itu alasan aku bingung sekaligus salut dengan orang-orang yang bilang berkebun dapat menghilangkan stress. Padahal bagiku berkebun justru menambah stress.

       Kalau orang yang bilang memelihara hewan menghilangkan stress aku tidak heran. Dulu aku punya kucing jantan yang kupelihara sejak dia bayi. Proses pertumbuhannya tidak sampai setahun, tapi dia bisa hidup sampai bertahun-tahun. Aku menemukannya merangkak-rangkak di jalan depan rumah lamaku. Kuberi dia susu khusus dengan botol dot, kemudian makanan basah khusus anak kucing, kemudian makanan kering khusus anak kucing, kemudian makanan kering kucing dewasa ditambah dengan selingan daging ikan atau ayam. Dia bertumbuh dan menjadi sangat aktif. Di usianya yang ke-empat, aku tinggal di asrama dan meninggalkannya di rumah. Dia menjadi liar sejak itu. Setahun kemudian dia mengalami cedera tulang belakang karena jatuh dari ketinggian ketika bergelut dengan kucing jantan lain yang masuk ke teritorialnya. Dia tidak bisa bertahan.

        Memiliki ikatan emosional dengan sesuatu yang akan hilang itu rasanya aneh. Dulu aku pernah menangis hanya karena kehilangan sebuah pulpen merchandise lomba senam yang kuikuti waktu SD. Saat itu aku teringat bagaimana latihan yang ditempuh hingga mendapatkan pulpen tersebut. Padahal jika diingat lagi, itu hanya sebuah pulpen. Ya, selamanya hanya akan menjadi sebuah pulpen. Menangis hanyalah hal bodoh karena, toh, jika pulpen tersebut tidak pernah ada sekalipun aku tetap akan ingat kenangan lomba tersebut karena aku mengalaminya. Orang-orang yang senang dengan hal-hal yang merepotkan mungkin akan menyukainya. Tetapi karena aku tidak suka, aku memutuskan untuk tidak membuat ikatan emosional dengan apa pun lagi. Juga ketika melihat kucing pesakitan di jalan, aku tidak lagi mempersilakan diriku untuk merasa kasihan.

        Lebih buruk dari meiliki ikatan emosional dengan benda dan hewan, memiliki ikatan emosional dengan manusia rasanya merepotkan. Terlebih mengingat manusia bisa memberikan berbagai macam respon yang tidak terduga, membebankan suatu keinginan yang kadang tidak masuk akal, dan salah mengartikan apa yang diterimanya dari orang lain. Aku paling tidak suka harus mengingat satu-satu tanggal ulang tahun kolega. Padahal harusnya tanpaku pun mereka dapat merayakannya sepeti halnya mereka merayakannya sebelum mengenalku. Jika membahas ikatan emosional dengan manusia tentu ada bagian jatuh cinta. Tapi aku sudah berjanji tidak akan membahasnya lagi kecuali saat orang yang bersangkutan menyaksikan pesan terakhirku nanti.

                                  ***

*) Bunyi timer microwave

Road To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang