Kurang lebih satu bulan berlalu sejak hari yang tidak biasanya itu.
“Halo, maaf, sepertinya kita tidak bisa melanjutkan ini. Aku akan melanjutkan hubunganku dengannya.”
“Pergilah. Jika sudah begini, tidak ada lagi, kan, yang bisa kau lakukan selain memihak padanya. Aku berjanji aku juga akan pergi.”
Sambil menangis kutekan ikon kirim pada layar ponselku. Ini akhir dari hubungan kami. Komo akan menjadi satu-satunya lagi. Komo yang mencakar-cakar pelapis sofaku. Komo yang menumpahkan air minumnya. Komo yang mencuri makanan di atas meja. Komo yang bagaimana pun meyebalkannya tidak pernah memberiku perasaan sakit seperti ini. Komo yang sedang mencuri perhatianku dengan mengelus-eluskan kepalanya pada sikut tangan kiriku.
“Hai, Komo…,” kataku sambil terisak.
“Maaf telah menduakanmu.”
Aku tidak tahu apakah kucing dapat memahami bahasa manusia atau tidak. Tapi aku yakin mereka dapat merasakan hawa bahagia, sedih, marah, kecewa, penyesalan, dan lain sebagainya.
Setelah kejadian itu, atmosfer tempat kerjaku jadi terasa berbeda. Banyak orang menatapku dengan pandangan yang belum pernah kudapati sebelumnya. Padahal harusnya ini bukan salahku. Tapi banyak yang beranggapan aku tidak bisa menjaga lelakiku sampai dia menghamili orang lain. Ini bukan gangguan yang begitu berarti bagiku, sih. Buktinya aku bisa menjalani hari-hari seperti ini lebih dari tiga bulan. Hanya saja ada bagian dalam diriku yang tidak terima dengan pendapat orang-orang yang dilontarkan tanpa mengetahui kejadian sebenarnya dari kami.
Setelah bekerja dengan atmosfer yang cukup berat, akhirnya aliran sampel yang masuk mulai sedikit. Semua sampel juga telah dianalisis lengkap oleh tim analis dan telah didata olehku—termasuk sampel yang menjadi sumber ketegangan ini. Seluruh klien telah kuhubungi mengenai sisa sampel yang masih tersedia. Beberapa klien yang risetnya sesuai dengan yang diharapkan juga mengirimi kami produk-produk yang telah berhasil dikembangkan dengan berkonsultasi dengan laboratorium ini. Produk ini boleh dibawa pulang oleh seluruh staf sebagai oleh-oleh. Kalau begini sepertinya aku bisa mengambil cuti beberapa hari untuk menenangkan hatiku.
“Baik, sudah disetujui. Besok kembali lagi untuk mengambil surat yang sudah ditandatangani, ya. Kebetulan hari ini kepala laboratorium tidak ada di ruangan.”
Dengan sumringah aku berjalan pulang. Tidak ada yang mengantarkanku hari ini. Tidak ada cerita di sepanjang perjalanan. Tapi aku merasa ini adalah perasaan pulang kerja terbaik sepanjang yang pernah kurasakan. Aku berjanji akan menghabiskan waktu cutiku dengan Komo.
“Komooo!” teriakku sambil menuangkan makanan kucing ke dalam mangkuk seperti biasa—tidak, sih, rasa sedihnya tidak seperti biasa mengingat benda ini pemberian dari orang yang sudah pergi.
Aneh, Komo tidak menghampiriku. Apa mungkin dia sedang tidur. Belakangan ini dia memang kurang aktif, sih. Tapi aku belum sempat membawanya ke klinik hewan karena harus lembur demi mengambil cuti.
Ketika kubuka pintu rumahku, seekor kucing yang sudah kaku tergeletak di lantai. Seketika aku merasa seperti telah membunuh Komo. Seperti yang kubilang, kucing dapat merasakan atmosfer perasaan di sekitarnya. Aku yang membawa suasana tegang, stess, dan terburu-buru ke dalam rumah ini. Aku kurang memperhatikannya. Ambisiku telah mengalahkan hatiku untuk merasakan tiap-tiap emosi yang harusnya ia rasakan. Aku baru sadar aku telah menjadi sangat dingin akhir-akhir ini. Bungkus makanan kucing yang biasanya kutuangkan isinya dengan penuh cinta belakangan ini justru dengan penuh sesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Road To Me
RomanceAku juga tidak tahu seperti apa aku yang asli. Bukan aku yang sedang mencintai seseorang. Bukan juga aku yang sedang patah hati karenanya.