Kupandangi surel yang menyatakan aku bukan lagi bagian dari suatu instansi. Perintah untuk mencadangkan dokumen dalam akun profesionalku sebelum dinonaktifkan masuk bersamaan dengan surel tersebut. Rasanya melegakan tapi juga membingungkan. Aku takut melihat orang-orang. Aku takut melihat kucing. Aku takut melihat hari esok yang entah akan kuisi dengan apa. Aku takut memikirkan jawaban pertanyaan terakhir yang diberikan atasanku. Sesuatu untuk menebusnya. Sesuatu untuk menebusnya… . Sesuatu untuk menebusnya… .
Baiklah, aku sudah memikirkannya.
“Aku ingin menukarkan tiketku.”
Aku menyertakan sebuah foto tangkapan layar obrolanku dengan seseorang beberapa tahun lalu, mengirimkannya kepadanya. Aku tidak tahu apakah dia akan membalasnya pada kondisi saat ini, tapi hanya ini yang dapat kupikirkan saat kebingungan. Kebingungan seperti yang kurasakan saat aku masih bersamanya.
“Akan aku berikan,” balasnya.
Melihatnya membalas pesanku setelah bertahun-tahun membuatku merasakan seperti seluruh pondasi kuat tubuhku yang telah kubangun selama ini meleleh. Aku akan bertemu dengannya. Masa laluku yang selalu ingin kubawa ke masa depan.
“Apa kabar, Nona?”
Sudah lama sekali aku tidak mendengar panggilan itu. Aku mengamatinya menggantung tas dan jas kerjanya, kemudian merentangkan tangannya. Mengisyaratkan sebuah pelukan. Hari ini dia telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa. Bahunya terlihat lebih kuat, urat-urat muncul pada lengannya, dan wajahnya ditumbuhi rambut-rambut tipis di bagian senormalnya rambut tersebut tumbuh pada laki-laki. Matanya tetap sama, mata yang selalu menatap mataku yang mencoba kabur darinya. Hanya saja sekarang sedikit berair dan kelihatan lelah. Orang yang lama tidak melihatnya mungkin tidak akan mengira itu dirinya. Tapi aku sudah melihat dirinya yang seperti ini dalam mimpi. Jauh sebelum aku melihat aslinya.
“Duduk dulu. Akan aku buatkan sesuatu,” jawabku.
Dua bungkus kopi gayo masing-masing kutuangkan dalam cangkir. Sembari menunggu air mendidih dari teko listrik, kuamati kemasannya. Karena atasanku sudah berpesan untuk meminum kopi darinya, akan kuseduh yang ini untuk diriku. Kemasannya sedikit lebih pendek, jadi isinya terkesan sedikit lebih banyak. Mungkin karena ini produk sampel, jadi pengemasannya masih berbeda-beda untuk melihat yang mana yang lebih bagus.
“Ini untukmu,” kataku seraya menyodorkan secangkir kopi yang baru saja kubuat untuknya lalu duduk di sampingnya.
“Apa ini?”
“Dari tempat kerjaku. Aku dapat dua paket. Satunya dari temanku yang tidak bisa minum kopi. Jadi kau boleh bawa pulang punyaku.”
“Aku baru tahu kau bekerja di perusahaan kopi.”
“Tidak, kok. Laboratorium,” jawabku sambil tersenyum menatapnya. Meskipun senyumku tidak manis seperti dirinya yang memiliki lesung pipi, aku yakin ini yang terbaik yang telah muncul kembali pada wajahku setelah beberapa waktu menghilang karena hal-hal melelahkan.
Dulu kami pernah makan es krim bersama, minum ramune, makan bekal di sekolah, dan banyak lagi. Meski demikian, ini pertama kali kami meminum kopi bersama. Dulu dia tidak terlalu suka kopi. Dia lebih suka minuman teh kemasan yang rasanya manis sekali. Entah berapa malam yang telah dilewatinya hingga lidahnya mulai bersahabat dengan kopi. Meskipun perubahan ini dibentuk oleh sesuatu yang mungkin menyedihkan dan melelahkan, aku senang karena sesuatu yang dapat aku nikmati bersamanya bertambah satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Road To Me
RomanceAku juga tidak tahu seperti apa aku yang asli. Bukan aku yang sedang mencintai seseorang. Bukan juga aku yang sedang patah hati karenanya.