“Kalau begitu bunuh aku.”
Meskipun terlihat tenang, dari jarak sedekat ini aku dapat merasakan peningkatan deras aliran darah dan gemetar tipis pada tubuhnya yang sudah terlatih menyembunyikannya selama belajar di stase bedah.
“A… apa maksudnya?”
Gugupnya baru terlihat ketika dia mulai berbicara.
“Kau hanya ingin memberikan pelukan perpisahan padaku asalkan itu benar-benar pelukan perpisahan, kan? Setelahnya aku harus meninggalkanmu, kan? Sayangnya, saat kau berkata padaku untuk merayakan kesendirianku, itu tidak mungkin. Berjalan tanpamu tidak berarti aku juga akan tidak berjalan bersama orang-orang yang telah menyakitiku. Jadi aku akan pergi ke tempat dimana aku benar-benar berjalan sendirian. Tempat dimana aku dapat merayakan kesendirianku,” uraiku diiringi air mata yang ikut terurai.
“Apa maksudmu?!” tanyanya lagi. Kali ini dengan sedikit bentakan.
“Jika aku mati, kita akan berpisah di sini, kan? Kau tidak perlu khawatir aku akan kembali padamu suatu saat dan mengacaukan hubunganmu atau meminta pelukan ini lagi. Aku juga tidak perlu khawatir akan menghadapi berbagai luka tanpamu. Karena jika aku mati tidak ada yang dapat melukaiku lagi.”
Tangannya dengan sigap merangkul kepalaku dan mendaratkannya dalam dekapnya. Air mata yang mungkin sejak kemarin ditahan tumpah. Dia terlihat lebih emosional sekarang. Aku merasa seperti melihat dirinya yang asli, yang sejak tadi ditahan oleh sikap tenang dan datar hasil didikan stase bedah. Belum genap satu jam setelah berlalunya hari kemarin pun kami telah merobek janji bahwa yang kemarin adalah pelukan terakhir kami.
“Maafkan aku karena selalu menyakitimu,” katanya sambil menangis.
“Bukan kamu yang menyakitiku,” bantahku dengan pelafalan yang tidak jelas karena emosiku yang memaksa otot sternokleidomastoid-ku menegang. Tangisan yang ini lebih sakit dan menyesakkan dibanding yang sebelumnya. Air yang mengalir dari lubang-lubang di wajahku membuatku merasa seperti wajahku meleleh karena rasa sakit ini.
“Meskipun kau selalu mengatakan kau tidak mencintaiku, aku selalu merasa dicintai olehmu. Kau selalu memberiku perasaan yang ingin aku dapatkan dari orang-orang yang mengaku mencintaiku, perasaan diterima…”
Suasana yang sedang menyelimuti membuat udara dini hari semakin dingin dan menyesakkan untuk dihirup. Aku pun merasa sesak sehingga hanya bisa melanjutkan kalimat-kalimatku dengan terbata-bata.
“… De-ngan… adanya dirimu, aku tidak ta-kut… lagi dengan apa pun. Aku merasa semua a-kan… baik-baik saja denganmu. Mes-kipun… aku gagal, kau tetap seperti ini. Di saat a-ku… bingung, kau membuatku yakin. Kau tetap me-lihat… ku sebagai orang yang kuat mes-kipun… aku datang padamu di saat-saat aku merasa rapuh. Kau se-lalu… menerima apa pun yang aku berikan de-ngan… senang hati.”
Aku merasakan tempo isakan tangisnya yang berubah, pertanda dia sedang mengatur nafasnya, menyiapkan argumen untuk membalas pernyataanku dengan hati-hati.
“Baiklah, terima kasih. Akan aku terima semuanya dengan senang hati. Kau bisa memberiku apa pun dan aku bisa menerima apa pun darimu kecuali perasaanmu. Jadi kumohon…”
“Kalau begitu terimalah permohonanku!” seruku memotong penjelasannya.
“Tolong bunuh aku…” ucapku perlahan dengan sisa nafas yang kumiliki setelah membuangnya untuk berseru menyelah.
“Tidak mungkin, Nona. Jika masih bisa hidup dengan mengabaikan semua ini, hiduplah. Kejar semua mimpimu dan abaikan aku. Lupakan anak SMA yang kau sukai itu. Aku bukanlah remaja itu lagi.”
“Mati di pelukanmu juga mimpiku,” bantahku dengan suara yang nyaris tidak terdengar karena sudah tidak sanggup lagi bersuara normal walaupun terbata-bata.
“Membawa perasaan ini pergi bersamaku juga mimpiku. Jika kau memintaku mengejar mimpiku, tolong wujudkanlah. Aku tidak ingin melupakanmu atau melupakan rasa ini karena aku ingin mewujudkannya di kehidupan yang selanjutnya. Jika aku melupakannya tentu aku tidak akan pernah mendapatkannya, bukan?
“… Ingatkah kau dengan buku harian yang aku janjikan padamu? Sejak dulu mungkin aku sudah berpikir akan pergi mendahuluimu. Makanya aku mempersiapkan sesuatu yang hanya bisa dibaca olehmu saat aku sudah mati. Benda yang tidak berguna lagi jika kau yang pergi mendahuluiku.
“… Pergi lebih dulu darimu juga mimpiku. Selain karena aku takut ditingalkan olehmu, aku juga berpikir meninggalkanmu adalah sesuatu yang kau inginkan. Dengan pergi mendahuluimu, aku akan hilang. Tidak ada lagi kekhawatiran aku akan kembali padamu suatu hari dan mengganggu hubunganmu. Aku akan menunggumu di sana. Aku akan menyambutmu saat kau datang. Aku akan mencarimu supaya kita bisa bersama lagi. Jika kau yang pergi lebih dulu, aku yakin kau tidak akan melakukan itu untukku, kan?”
Waktu sudah memasuki fase tidur terdalam pada ritme sirkadian. Kepalaku mulai pusing, nafasku semakin sesak seperti hampir habis. Perlahan-lahan otot-ototku merasa lemas. Sepertinya beberapa saat lagi hanya otot-otot involunter pada tubuhku yang dapat bergerak menjalankan tugasnya.
“Aku tidak akan melakukannya,” tegasnya.
“Tidak apa-apa. Mungkin tanpa kau melakukannya pun aku akan mati,” lanturku.
Rasa lelah yang tidak tahu datang darimana ini memang terasa seperti mau mati. Entah karena suasana yang emosional atau suhu pendingin ruangan yang tidak seperti biasa, kopi yang kuminum bersamanya sebelum pergantian hari jadi terasa tidak berpengaruh. Padahal aku terbiasa begadang.
“Ayolah, jika kau ingin mati, berpura-pura mati lah. Bertahanlah dengan cara-cara yang paling mudah dilakukan. Abaikan orang-orang di sekitarmu, mogok makan atau minum, tidur hingga ototmu kaku dan bangun tanpa jadwal. Beri jeda sebentar dari hidup yang diakui orang-orang. Selama jeda itu, nikmatilah hidup yang tidak harus bekerja keras. Lakukanlah hal-hal yang kau sukai hingga perasaanmu membaik dan siap memulai hidup yang dimaksud orang-orang lagi. Bila belum juga cukup, lakukan selamanya sampai waktu pergimu benar-benar tiba.”
Dia mengatakannya dengan penuh emosi. Sekali-sekali sambil mengusap air matanya, menggoyangkan bahuku, terisak, dan sesegukan. Tapi itu tidak sama sekali membuatku tersentuh dan menjadi bersemangat. Semakin berjalannya waktu, rasa lelah dan sesak yang kurasakan semakin bertambah. Suhu tubuh yang menurun ke level terendahnya seiring berjalannya waktu dini hari membuat ototku terasa seperti ditusuk-tusuk.
“Aku tidak akan berpura-pura mati. Aku akan benar-benar mati.”
Ototku semakin terasa pegal dan perih. Organ-organ dalamku terasa sakit hingga paru-paruku tidak kuat lagi mengembang. Kepalaku pusing dan mataku rasanya amat berat.Seluruh sel-sel di tubuhku seakan-akan telah menumpuk asam laktat selama berbulan-bulan. Dengan cepat nafasku menjadi sangat pendek dan detak jantungku menjadi sangat lemah. Aku melihat dia yang sedikit panik mengguncang-guncang tubuhku dan menekan pergelangan tanganku untuk menghitung denyut nadiku. Seketika semua berubah menjadi hitam dan aku tidak mengingat apa pun. Aku pergi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Road To Me
RomanceAku juga tidak tahu seperti apa aku yang asli. Bukan aku yang sedang mencintai seseorang. Bukan juga aku yang sedang patah hati karenanya.