Something

11.7K 657 5
                                    

Gue membolak-balik buku pelajaran Matematika gue sejak dua jam yang lalu. Sebenernya sih gue nggak ngerti dan nggak minat. Kalau bukan disuruh sama Nyokap, gue nggak akan mau dah belajar kayak gini. Mending gue tidur, atau main ps, atau jalan keluar.

Tokk.. Tokk..

"Devon? Kamu di dalam, nak?" Panggil mamah dari luar.

Gue bangun dan membukakan pintu, "Kenapa, mah?"

"Udah selesai ngerjain pr nya? Kalo udah, turun, gih. Ada Aurel di bawah." Ujar Mamah sambil mengusap rambut gue.

"Ah, belum, mah. Banyak. Devon nggak terlalu bisa soalnya." Gue ngeles.

"Kalo gitu minta ajarin Aurel aja, Von. Dia pinter matematika, lho." Mamah mengusulkan.

Gue langsung parno, aduh! Males banget gue ketemu itu cewek. Gue memutar otak untuk berfikir lagi.

"Ng....Nggak usah, mah. Devon mau belajar sendiri aja. Nanti kalo udah selesai Devon turun, kok." Gue ngeles lagi.

Mamah cuma tersenyum kecil, "Yaudah kalo gitu. Kerjain yang bener. Nanti mamah suruh Mba Imah bawain susu buat kamu." Mamah pergi.

Gue langsung nutup pintu dan menguncinya. Biar aman.

Karna bete berat, gue iseng bbm si cewek idiot. Kemaren gue dapet pin nya dari anak sekelasnya.

Devon Ariditya: Cewek idiot? Lagi dimana?

Semoga aja dia ngerespon. Gue tunggu balesannya sambil dengerin musik dari laptop gue.

Sachira Milaika Linson: Ada apa ya nanya gue lg dmna?

Gue mendengus. Songong banget ini cewek. Baru kali ini ada cewek yang setengah mati dideketinnya.

Devon Ariditya: Gue mau ajak lu jalan, mau gak? Mau ya? Mau kan? Sip

Gue menunggu. Satu menit, ngga ada balesan. Lima menit, masih nihil. Gue gelisah, baru kali ini ngajak cewek jalan tapi berasa diphp-in.

Tringg...

Aha! Akhirnya dibales juga.

Sachira Milaika Linson: Gue mau nonton, udh dibioskop, 15 menit lg filmnya mulai.

Gue langsung loncat dari tempat tidur membuka lemari dan mengubek-ubek pakaian, gue putuskan pake kemeja andelan gue.

Gue berdiri di depan cermin, menggulung lengan kemeja sesikut, membenarkan rambut lalu menyemprotkan parfum keseluruh tubuh gue.

Siap! Saatnya pergi.

Devon Ariditya: otw..

Gue menuruni anak tangga dengan cepat.

"Mah, Devon keluar dulu, udah ditungguin kawan. Bye" Gue mencium pipi Mamah.

"Von, tunggu." Mamah menghentikan langkah gue, "Aurel ngga diajak?".

Gue menoleh ke belakang mamah, Aurelia duduk manis disofa dan melambaikan tangannya, "Ngga, deh, mah. Devon cuma sebentar kok."

"Kamu mau kemana, sih, Von? Masa aku ditinggal?" Aurel masang muka kusut. Ah, ini bisa-bisaan dia aja!

Gue memutar bola mata gue, "Suruh siapa lo kesini? Gue nggak pernah ngundang lo buat dateng kesini."

"Devon!" Bentak mamah.

"Von, kita itu udah dijodohin. Harus berapa kali sih aku bilang." Aurel nyerocos.

Gue menghela nafas dan menatap Aurel tajam, "Siapa bilang kita dijodohin? Emangnya gue pernah bilang iya? Emangnya gue mau? Yang jodohin kan orangtua kita, lagian nggak pake tanya dulu ke gue. Kalo gue sih udah jelas nggak mau dijodohin. Sekalipun dipaksa juga gue lebih milih pergi dari sini. Jadi jangan ngayal lo jodoh sama gue, okey?"

Gue langsung pergi tanpa menghiraukan mamah yang teriak-teriak manggilin gue.

***

Gue berlarian menuju XXI. Mampus! Cewek idiot itu nonton apaan? Gue merogoh kantong celana gue buat ambil handphone.

Devon Ariditya: Nntn apaan? Gue udh smpe

Sachira Milaika Linson: 3 Dara. Theater 2. F5.

Gue langsung lari beli tiket dan milih kursi setelah itu masuk ke theater 2 seperti yang dia bilang. Gue celingukan nyari dia.

"Hey?" Gue duduk disebelah Chira setelah berhasil nemuin dia.

Chira melihat gue dengan tatapan datar lalu kembali fokus ke layar, "Kirain lo becanda doang. Kalo tau lo bakalan dateng beneran nyesel dah gue."

"Kalo gue udah serius nggak mungkin gue bohong." Jelas gue, "Apalagi soal perasaan." Lanjut gue.

Tapi shit! Chira nggak ngerespon. Dia malah asyik sama filmnya. Beberapa kali gue ajak ngobrol tanggepan dia cuma ngangguk dan geleng. Sabar, Von!

Akhirnya setelah hampir dua jam lamanya gue berada di dalem dengan 90% keadaan bete, keluar juga.

Gue berjalan berdampingan dengan Chira keluar dari XXI menuju sebuah toko baju. Chira memilih-milih kaos sedangkan mata gue tertuju pada sebuah sweater berwarna biru muda dipadu dengan pink polos tanpa motif.

"Chira! Sini deh." Seru gue sambil menenteng sweater itu.

Chira nggak menoleh, dia sibuk mematut-matut dirinya dengan sebuah kaos bermerk greenlight.

"Chir, liat dulu nih." Gue memamerkan sweaternya tepat di depan wajah Chira. Ia hanya melihat sekilas.

"Bagus. Lucu." Komentarnya.

Gue tersenyum, "Lo suka?"

"Lucu. Tapi warna nya pink. Bukan gue banget. Tapi kalo itu buat cewek lo, bagus kok."

"Gue mau beliin buat lo, Chir."

Chira menatap gue sekejap, lalu tertawa renyah, "Lo mau beliin gue? Lo pikir gue mau? Lo pikir gue cabe-cabean yang mau gitu aja dibeliin sesuatu? Nggak." Dia melengos pergi meninggalkan toko itu dan gue langsung ngejer dia.

"Chira? Tunggu."

Chira terus melangkahkan kakinya menuju parkiran dilantai paling atas.

"Lo mau kemana?" Tanya gue cepat.

"Pulang. Ngantuk."

"Makan dulu, yuk?" Ajak gue.

"Gue ngantuk, kalo ngantuk ya tidur. Ngapain makan?" Chira memutar bola matanya.

Gue garuk-garuk pelipis, "Gue laper. Temenin gue makan."

"Nggak. Dah sana pulang. Sana sana." Dia mendorong-dorong tubuh gue menjauh.

Gue masih membuntuti dia, "Gue anter lo sampe parkiran."

Chira nggak berkomentar lagi. Sial, ni cewek susahnya setengah mati amat yak?

Kita pun sampai pada sebuah Honda Jazz merah milik Chira. Dia membuka pintu mobil dan menaikkan kacanya tanpa melirik gue.

Mesin mobil dihidupkan, dan Chira meluncur pelan meninggalkan gue sendirian.

Sesuatu dihati gue seolah menarik gue untuk semakin mengejar gadis idiot itu. Rasa penasaran bercampur rasa kesal pada Chira membuat gue nggak bisa sedetik pun menghilangkan wajahnya di pikiran gue.

Ah sial! Jangan, Von, lo nggak boleh jatuh cinta sama dia!

My Idiot GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang