Caius duduk di samping ranjang miliknya yang sekarang terdapat tubuh Izzy yang terbaring kaku dan dia sangat diam. Itu membuatnya khawatir, seharusnya ada jeritan rasa sakit, bukan rintihan sesekali.
Ini terlalu tenang, Caius untuk pertama kalinya membenci ketenangan. Marcus dan Aro sudah berusaha menenangkan nya, mereka menduga reaksi tidak biasa dalam proses perubahan terjadi karena Izzy telah mendapatkan racun vampir.
Charlie, yang telah diberi kabar oleh nampaknya tidak menduga perubahan Izzy terjadi begitu cepat, dia tidak bisa melakukan apapun dan juga tidak bisa menyalahkan siapapun selain Edward. Edward harus bersyukur bahwa pistol tidak mempan terhadap mereka karena jika Charlie pasti telah melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan padanya. Meskipun begitu Edward telah berada dalam neraka beberapa hari terakhir dengan Felix, Caius tidak bisa meninggalkan sisi Izzy jadi tidak ikut berperan aktif dalam penyiksaan itu.
Caius khawatir dengan keadaan ini, bagaimana jika Izzy memiliki perasaan negatif sepanjang keabadian nya? Hidupnya akan sulit, dia akan menderita.
Hari ketiga, hari yang merupakan penentuan dari perubahan itu Izzy. Tanpa di duga kelopak mata nya terbuka dengan warna mata merah, merah semerah darah menatap partikel udara yang tampak jelas.
Izzy duduk perlahan, tubuhnya bergerak dengan keanggunan yang tak pernah dia miliki sebelumnya. Setiap serat ototnya terasa penuh kekuatan, seolah dia adalah makhluk baru yang dilahirkan untuk menjadi predator dunia ini. Namun, saat dia menatap sekeliling, tidak ada tanda-tanda kebingungan seperti yang biasa terjadi pada vampir baru. Tidak ada desahan panik atau kegilaan yang biasanya datang bersama rasa lapar yang membara.
Caius menahan napas, menunggu reaksi pertama dari Izzy. "Izzy?" Suaranya lirih, hampir tidak terdengar.
Mata merahnya beralih ke Caius, dan ada sejenak jeda yang mengerikan sebelum dia berbicara. "Caius?" suaranya terdengar datar, dingin, namun tenang. Dia mengulurkan tangannya, menelusuri permukaan kulitnya, merasakan perubahan itu sendiri.
Caius menghela napas lega meski perasaannya masih bercampur aduk. Namun, keheningan Izzy tetap mengusik pikirannya. Dia seharusnya lebih gelisah, atau setidaknya sedikit kehilangan kendali. Tapi ini? Terlalu teratur, terlalu tenang. "Bagaimana perasaanmu?" tanya Caius, mencoba membaca wajahnya yang sekarang tampak lebih sempurna, namun tidak akan pernah asing.
Izzy mengerutkan alis sejenak, kemudian tersenyum samar. “Rasanya... berbeda. Tapi... tidak buruk.” Dia berdiri, menggerakkan tubuhnya dengan kemahiran yang tak manusiawi. Matanya yang merah menyapu ruangan, menganalisis segala sesuatu dengan detail yang menakutkan.
Marcus yang telah mengamati dari sudut ruangan berbicara dengan tenang, “Kau tampak lebih... terkendali dari yang kami perkirakan, Izzy. Itu luar biasa, tapi sekaligus tak biasa.”
Izzy mengangguk, seolah mengerti tetapi tidak terganggu. "Aku merasa terkendali," katanya, suaranya tetap tenang. "Seolah-olah... aku tahu apa yang harus kulakukan. Instingku berteriak tapi aku masih bisa menahannya"
Itu bukan reaksi biasa, dan dia mulai bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi di sini. Racun vampir seharusnya menciptakan kekacauan dalam jiwa baru, tapi Izzy—dia berbeda. Terlalu berbeda.
Izzy melangkah mendekat, jarak antara mereka hampir terhapus. "Aku tahu kau khawatir," bisiknya, membaca kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan oleh Caius. "Tapi aku baik-baik saja. Aku lebih baik dari yang kau bayangkan."
"Manusia telah menunggu mu di ruangan sebelah." Ucap marcus sebelum pergi meninggalkan pasangan itu.
"Apa aku akan melukaimu jika aku mencium mu?" Tanya Izzy dengan lembut sambil mengusap-usap wajah Caius.
Caius tersenyum kecil,"Tidak sayangku, tidak akan."
Dengan begitu Izzy dengan hati mendekatkan wajahnya, Caius dengan lembut memeluk pinggangnya. Ketika bibir mereka bertemu rasa sengatan listrik mengalir ke seluruh tubuh Izzy sensasi itu begitu intens, lebih kuat dari apa pun yang pernah dia rasakan sebagai manusia. Rasanya seperti setiap serat tubuhnya menyala, setiap sel dalam dirinya beresonansi dengan keberadaan Caius.
Caius memperdalam ciuman mereka dengan lembut, namun tetap menguji batas Izzy. Dia tahu betul betapa rapuhnya kendali seorang vampir baru. Namun, yang mengejutkan, Izzy tetap tenang. Nafasnya tidak tersengal oleh rasa lapar, jari-jarinya tidak mencengkeram bahu Caius dengan kekuatan yang bisa meremukkan tulang.
Dia benar-benar berbeda.
Ketika akhirnya mereka berpisah, Izzy masih menutup matanya, seolah meresapi setiap sensasi yang mengalir dalam tubuhnya. "Aku bisa mengendalikannya," bisiknya, membuka matanya dan menatap Caius dengan keyakinan yang tidak pernah dia miliki sebelumnya. "Aku bisa mengendalikannya, Caius."
Caius mengangguk perlahan, ia dengan lembut mengusap pipi Izzy, masih menilai keadaan ini dengan hati-hati. “Kau memang berbeda, Sayang,” gumamnya. “Lebih kuat dari yang kuperkirakan.”
Izzy tersenyum, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Caius tetap waspada. Mata merahnya bersinar seperti permata darah di bawah cahaya ruangan, tajam dan penuh pemahaman yang seharusnya tidak dimiliki oleh vampir baru.
Tiba-tiba, ketukan di pintu memecah momen mereka. Pintu terbuka, dan seorang penjaga Volturi masuk dengan sikap hormat. "Maaf mengganggu, Tuan Caius, tapi master aro yang menunggu di ruangan sebelah mulai tidak sabar."
Izzy menoleh ke arah Caius, ekspresinya tetap tenang, tetapi bibirnya sedikit melengkung dalam senyum samar. “Manusia... aku bisa merasakan detak jantungnya,” katanya perlahan, suaranya berbisik seperti belaian angin malam. “Itu menggoda... tapi tidak menguasai pikiranku.”
Caius menatapnya dengan kagum sekaligus kewaspadaan. "Apa kau ingin bertemu dengannya sekarang?"
Izzy berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku ingin melihat bagaimana rasanya.”
Caius mengulurkan tangannya, dan Izzy menerimanya tanpa ragu. Mereka berjalan bersama menuju ruangan sebelah, di mana manusia itu menunggu dengan gelisah. Saat mereka masuk, detak jantung manusia itu terdengar semakin cepat. Wajahnya pucat, keringat mulai muncul di pelipisnya saat dia menatap Izzy dengan campuran ketakutan dan keterkejutan.
Izzy mengamati manusia itu, memperhatikan setiap detail—denyut nadi di lehernya, hembusan napasnya yang tak teratur, aroma darah yang begitu menggoda. Namun, alih-alih menyerang, dia hanya tersenyum kecil.
"Menarik," katanya, menatap Caius seolah ingin menguji dirinya sendiri lebih jauh. "Aku tidak lapar."
Caius membelalakkan mata sesaat, begitu pula Marcus dan Aro yang diam-diam mengamati dari sudut ruangan. Tidak ada vampir baru yang bisa mengendalikan rasa hausnya seperti ini. Itu tidak wajar.
"Apa kau yakin?" tanya Caius, mencoba memahami fenomena yang sedang terjadi.
Izzy mengangguk. "Aku merasakannya, keinginan itu ada. Tapi aku bisa memilih... untuk tidak menuruti keinginan itu."
Marcus melangkah mendekat, matanya menyipit penuh ketertarikan. “Ini bukan sesuatu yang biasa terjadi, Izzy. Vampir baru seharusnya terbakar dalam rasa lapar yang menguasai mereka.”
Izzy menatap tangannya sendiri, menggenggam dan membuka telapak tangannya seakan merasakan kekuatan barunya. “Mungkin aku memang berbeda,” gumamnya.
Caius menatapnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Kekaguman, keingintahuan, dan sedikit ketakutan. Izzy meyakinkan nya dia baik-baik saja itu mungkin hadiah.
"Ya sepertinya begitu, betapa menyenangkannya memiliki kekuatan baru di Coven kita." Aro masuk dengan senyuman menyeramkan nya seperti biasa.
"Aleazar akan datang besok dan kita akan memastikan hadiah apa yang di miliki Izzy tersayang kita...."

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐈'𝐌 𝐍𝐎𝐓 𝐁𝐄𝐋𝐋𝐀 𝐒𝐖𝐀𝐍 - CAIUS VOLTURI
Fanfictionૢ་༘࿐Hal mengerikan setelah kematianku adalah terbangun di tubuh yang bukan milikku dan hal terburuk lainnya selain aku mati adalah tubuh ini milik dari karakter Twilight, Isabella Swan. Holy shit?!! Aku seharusnya bisa langsung ke tempat akhir tanp...