23. Yang Hilang

177 35 0
                                    

[DUA HARI KEMUDIAN]
»»——⋇⋆✦⋆⋇——««

Jimin melangkah masuk ke dalam kamar lalu membaringkan Minji yang sudah terlelap dengan sangat hati-hati, takut sang empu terbangun setelah susah payah dirinya gendong untuk membuatnya tertidur cepat. Ia duduk tepat di samping putri kecilnya dan mengusap kepala bersurai lembut itu.

Sore ini suasananya cukup cerah namun tidak dengan suasana hatinya. Beberapa hari belakang ini juga dirinya kurang tidur demi merawat Minji yang kini tengah jatuh sakit, beruntung hari ini demam si kecilnya menurun dan berangsur lebih baik dari sebelumnya. Ia merawat Minji seorang diri, tentunya karena tidak mau merepotkan Mamah lagi selama bisa diatasi sendiri.

"Sama sekali gak ada jawaban..." gumam Jimin penuh kesedihan menatap sendu layar ponselnya hingga setetes air mata jatuh membasahi layar benda pipih tersebut.

Dengan segera ia mengusap air matanya lalu mendongak menatap langit-langit kamar guna menahan air mata yang memaksa untuk keluar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan segera ia mengusap air matanya lalu mendongak menatap langit-langit kamar guna menahan air mata yang memaksa untuk keluar. Setelah permasalahan yang terjadi di malam pesta hari itu, suaminya sama sekali tidak pernah mengabarinya sampai saat ini. Sekedar bertukar pesan saja tidak dilakukan apa lagi membalas semua pesan yang sudah dirinya kirimkan dari beberapa hari yang lalu. Ia menghela napas lelah, semuanya terasa begitu berat.

Jimin menoleh menatap Minji yang tengah terlelap dan tersenyum getir sembari mengusap kembali kepala putri kecilnya ini. Kedua matanya nampak sembab karena terlalu banyak menangis, hidung mungil serta kedua pipinya pun memerah samar dan terlihat sangat kontras dengan kulit seputih susunya itu. Kini, Jimin tahu mengapa putri kecilnya ini jatuh sakit, ia tengah merindukan sang Ayah yang seakan hilang tanpa kabar.

"Ungmm~"

Usapan lembut di kepala bersurai hitam legam itu berhenti seketika saat sang empu menggeliat tak nyaman dalam tidurnya. Tak lama kedua mata yang tadi terpejam itu terbuka, terlihat masih sedikit memerah dan berair karena efek dari demamnya. Jimin tak lagi bersandar pada dipan saat melihat Minji tiba-tiba beranjak duduk.

"Papa..." Jemari mungil dengan kedua tangan pendeknya Minji rentangkan, meminta sang Papa untuk merengkuhnya.

"Ada apa, sayang? Papa di sini." Jimin membantu menahan tubuh lemasnya yang sempat oleng, "tidur lagi ya? Semalam kan Minji hampir nggak tidur sama sekali karena nangis terus." Melihat gelengan kepala yang dijadikan sebagai tanggapan itu membuat Jimin terdiam sejenak sampai isak tangis kecil terdengar.

"Ayah, mau Ayah..." Minji kembali menangis dan mencoba berdiri meski tubuhnya masih lemas dan langsung memeluk leher sang Papa, menangis dengan wajah yang berada di ceruk leher Jimin.

"Papa, Ayah! Minji mau Ayah!" Rengekan serta tangisan Minji mampu membuat hati Jimin tersayat berulang kali kala mendengar apa yang Minji inginkan. Kalimat yang sama terus Minji ucapkan berharap akan segera dikabulkan dalam sekejap mata.

Bagaimana cara Jimin menjelaskan apa yang sedang terjadi saat ini? Bahkan tangisan Minji terdengar semakin kencang dengan intonasi suara berbeda yang diucapkan berulang kali itu. Sekuat tenaga Jimin menahan tangisannya, ia tahu putri kecilnya ini anak yang begitu lembut yang bisa ikut merasakan kesedihan dirinya juga.

"Minji Sayang dengerin Papa, cantik." Kedua tangan yang melingkar di leher sang Papa, Minji lepaskan. Masih dengan isak tangisnya yang sesenggukan Minji mencoba menatap Jimin meski pandangannya sedikit kabur karena air mata.

"Minji mau Ayah pulang?" Sang empu mengangguk cepat, "Ayah masih ada kerjaan di sana sayang jadi untuk saat ini Ayah belum bisa pulang, tapi Minji bisa telepon sama Ayah. Mau telepon Ayah?" Ia mengangguk lagi.

"Nanti Papa coba telepon Ayah ya, sayang. Sekarang Minji jangan nangis lagi, oke? Sini anak cantiknya Papa..." Minji langsung membawa dirinya masuk ke dalam pelukan hangat yang selalu merengkuhnya erat ini.

Merasa jauh lebih baik, tangan dengan jemari mungil Minji mengusap perut yang berada di tengah pelukan hangat ini namun bukan berarti menjadi penghalang baginya. Jimin tersenyum dengan perasaan senang saat menyadari apa yang sedang putri kecilnya ini lakukan, hingga tendangan kecil dari dalam perut Jimin membuat Minji sedikit terkejut meski sudah pernah merasakan hal yang sama berulang kali.

"Upss ... maaf sayang." Jimin tertawa pelan melihat ekspresi terkejut Minji meski akhirnya sang empu pun ikut tertawa setelah menangis tadi. Suara tawanya cukup membuat Jimin jauh lebih senang.

"Apa itu tadi?" tanya Jimin sembari ikut mengusap perutnya di atas tangan mungil Minji.

"Baby Pumpkin," Ia mengusapnya lagi, "pumpum kecil nggak boleh sakitin Papa ya nanti Ayah marah, loh!" ucapan yang seakan penuh peringatan itu dilontarkan begitu saja dengan nada bicaranya yang lucu meski sedikit berantakan saat diucapkan. Jimin semakin tertawa senang mendengar hal itu namun tanpa sadar juga membuatnya menangis.

Baby Pumpkin II [Yoonmin] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang