1.

4 0 0
                                    

Sepasang kaki jenjang dengan balutan sepatu merek ternama tersebut melangkah dengan riang. Sesekali diikuti gumaman-gumaman yang keluar dari bibirnya.

"Yes! Besok hari terakhir ujian! Pengangguran life, i'm coming!!" pekiknya seketika mengundang tatapan dari orang di sekitar koridor.

Bianca Lalita Brahmacari. Begitulah yang tertulis di papan nama di sebelah kiri dada gadis tersebut. Senyuman tersebut tak luntur dari kedua wajahnya. Wajah cantik dengan senyuman lembut layaknya peri, mata yang kala tersenyum membentuk bulan sabit dimalam hari, dan hidung kecil yang tertonggok menambah keindahan yang terpahat di wajah gadis tersebut.

Anak semata wayang dari pasangan Abimayu Brahmacari dan Arsena Maharani. Menjadi anak semata wayang membuat Bia tak pernah merasakan yang namanya kurang kasih sayang. Kedua orang tuanya yang sangat penyayang, yang akan selalu mengusahakan apapun yang putrinya minta. Membuat Bia tumbuh menjadi gadis yang selalu tersenyum cerah layaknya matahari di musim semi.

Tak dapat diragukan lagi kalau ia mendapat julukkan Mataharinya SMA Cahaya.

Ini adalah tahun terakhir Bia di sekolahnya. Tersisa satu hari lagi sebelum akhirnya ia terlepas dari yang namanya masa putih abu-abu. Masa dengan sejuta kenangannya bersama sang sahabat, Alzio.

Walaupun ssbenarnya Bia menginginkan Alzio lebih dari menjadi sahabat?

Hingga kakinya melangkah menuju parkiran sekolah. Berdiri di samping mobil civic hitam seraya mengeluarkan ponsel pintar miliknya. Mencari nama seseorang yang telah berjanji untuk pulang bersamanya hari ini.

Sebelum memencet ikon telepon, samar-samar ia mendengar pembicaraan dari arah belakang parkiran. Suara yang ia kenali tersebut membuat Bia mengayunkan kakinya menuju arah suara.

"Gue suka sama lo, Shell. Mau kan jadi pacar gue?"

Suara yang tersebut keluar dari bibir Alzio, sahabat Bia. Membuat gadis tersebut mematung di tempatnya. Hatinya merasakan nyeri yang teramat kala kata itu terucap dari bibir Alzio.

"Aku ... juga suka sama, Zio." balasan tersebut terdengar, sebelum akhirnya Bia melangkah pergi dari tempat itu. Melupakan janji yang telah ia buat dengan sahabatnya tersebut. Janji yang sangat ia nantikan untuk hari ini.

Gadis itu menuliskan pesan pada seseorang dan melangkah pergi keluar dari perkarangan sekolah. Ia tak meneteskan air matanya. Itu hanya akan membuat ia menyia-nyiakan kebahagiaan yang telah diberi kedua orang tuanya. Bia anti dengan yang namanya menangis.

Jika kedua orang tuanya selalu berusaha akan kebahagiaannya, maka Bia tidak akan meneteskan air matanya untuk lelaki sekalipun sahabatnya.

🐈‍⬛

Bia menatap hamparan malam di hiasi bulan dan taburan bintang sebagai pelengkapnya. Gadis itu memangku sebuah buku yang menjadi saksinya ketika bercerita mengenai kesehariannya. Kesehariannya yang dipenuhi oleh Alzio.

Ia menulis kalimat demi kalimat, sesekali juga menatap langit malam yang menenangkan. Jangab lupakan juga angin malam yang menerpa kulit putihnya yang hanya dibaluti piyama dengan tali tipis membuat Bia merasa sejuk.

Saat sudah memenuhi halaman dengan catatan yang ia buat, ia kemudian menatap helaian buku yang tersisa dua helai. Masih ada sisa sebelum buku tersebut penuh.

"Padahal gue ngarepnya bisa nulis diary sampai buku ini habis, bahkan mau gue beli baru buat lanjutin." Gadis itu tersenyum getir.

Ingatannya terlempar pada beberapa hari lalu.

Bia tengah celingak-celinguk memerhatikan sekitar. Mencari keberadaan seseorang dalam radar penglihatannya. Sebelum akhirnya ia dikagetkan dengan tepukkan pada puncak kepalanya sebelum berubah menjadi usapan.

AmicusWhere stories live. Discover now